Thursday, November 18, 2010

الوقت عمرك

Home Kajian Gaya Hidup Muslim
Waktumu adalah Umurmu!
Monday, 18 October 2010 09:12
Tanda orang yang merugi adalah banyak berkumpul namun tidak untuk menambah ilmu. Banyak berbasa-basi, bercanda, dan banyak bicara

Dari Ibnu 'Abbas ra, Rasulullah bersabda:
الْفَرَاغُ والصِّحَّةُ:النَّاسِ مِنَ كَثِيْرٌ فِيْهِمَا مَغْبُوْنٌ نِعْمَتَانِ

“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, nikmat sehat dan waktu luang.” (Riwayat Bukhori). (HR. Bukhori no.6412, At-Tirmidzi no.2304, Ibnu Majah no.4170, Ahmad no. I/258-344), Ad-Darimi no.II/297, Al-Hakim no.IV/306)


Waktu adalah ukuran zaman. Hari-hari yang kita lewati adalah umur kita. Apabila ia berlalu, maka hilanglah bagian dari hidup kita. Waktu adalah karunia terbesar dan paling berharga bagi manusia. Waktu menjadi rahasia berbagai prestasi cemerlang bagi seseorang ketika mampu menatanya dengan seksama.

Mumpung seseorang masih punya kesempatan waktu muda, maka seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Masa muda sebagai waktu emas, saat masih memiliki kekuatan semangat, pikiran masih jernih, kesibukan masih sedikit, dan tekat yang kuat. Sebaliknya pada usia tua, jasad semakin lemah, beban semakin berat, penyakit sering mampir, dan kekuatan pun kian berkurang.

Semua bentuk tindakan, kesungguhan, kekuatan, kemuliaan, kenikmatan, dan pencapaian tujuan adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan ketika badan sehat dan adanya waktu luang. Kewajiban yang seharusnya kita tunaikan teramat banyak, sementara waktu terluang sangat terbatas. Dengan waktu pula, betapa banyak lahan yang bisa diolah, berapa banyak perusahaan yang bisa didirikan, berapa ribu orang yang bisa dibantu dan yayasan yang bisa dikembangkan. Namun betapa banyak pula yang sudah puas dengan sedikit kualitas, sudah bangga dengan amal yang belum ada apa-apanya.

Tidaklah Allah bersumpah dalam al-Quran dengan meggunakan kata waktu, wal-‘ashri, wad-dhuha, wal-laili, bis-syafaqi, wal-fajri, dan sebagainya, kecuali semuanya mengisyaratkan tentang betapa pentingnya waktu. Dimaksudkan agar manusia disiplin penuh perhatian terhadap masa hidupnya.

Waktu yang Allah berikan kepada kita lebih berharga daripada emas karena ia adalah kehidupan itu sendiri. Seorang Muslim tidak pantas menyia-nyiakan waktu luangnya untuk hanya bercanda, bergurau, main-main, dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Karena ia tidak akan pernah mampu mengganti waktunya yang telah berlalu. Siapa yang mengabaikan waktunya, maka semakin besarlah kerugiannya, sebagaimana kerugian orang sakit, dia merasa rugi kehilangan kesehatan dan kekuatannya.

Seorang Muslim yang pada dirinya terkumpul dua nikmat ini, yakni kesehatan badan dan waktu luang, maka hendaknya menunaikan hak keduanya untuk melakukan ketaatan dan meraih kedekatan kepada-Nya. Tapi jika menyia-nyiakannya maka sebenarnya ia adalah manusia yang tertipu. Sebab, kesehatan akan digantikan dengan sakit dan waktu luang akan digantikan dengan kesibukan. Sebagaimana seorang pedagang yang memiliki modal, yaitu kesehatan dan waktu luang, maka ia tidak boleh menyia-nyiakan modalnya yang ada padanya selain ketaatan kepada Allah.

Seseorang yang memiliki badan yang sehat tanpa menggunakannya untuk tindakan yang berguna dan tidak pula berbuat untuk akhiratnya adalah orang yang merugi. Dalam kenyataan memang kebanyakan manusia tidak menggunakan kesehatan dan waktu luang. Mereka malah membuang usia dan mempermainkan umur. Kadang-kadang manusia juga tidak memiliki waktu luang. Waktunya habis hanya untuk mencari makan dan kebutuhan periuk nasi. Sebaliknya terkadang memiliki waktu luang namun badannya sakit, jiwanya juga sakit, malas, loyo, tidak bergairah yang pada akhirnya berujung pada kebangkrutan.

Seorang Muslim hendaknya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Ia tidak boleh menunda-nunda kesempatan melakukan amal kebaikan.

Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar pernah berkata; "Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi hari. Dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah menunggu hingga sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Dan pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu." (HR. Al-Bukhariy no.6416)

Ibnu Qoyyim berkata: ”Ada 4 hal yang dapat merusak hati, yaitu berlebihan dalam berbicara, berlebihan makan, berlebihan tidur, dan berlebihan dalam bergaul.” (Al-fawaid hal 262).

Beliau juga berkata: ”Pintu taufiq tertutup bagi seseorang karena melakukan 6 perkara, yaitu (1) meninggalkan syukur kepada Allah dengan menggunakan karunia bukan pada jalan-Nya, (2) gemar terhadap ilmu namun tidak mau mengamalkannya, (3) menunda-nunda taubat, (4) berteman dengan orang sholih tapi tidak mau meneladani mereka, (5) mengejar-ngejar dunia padahal dunia akan meninggalkannya, (6) berpaling dari akhirat padahal akhirat akan mendatanginya.” (Al-Fawaid)

Ucapan Salaful ummah tentang waktu

Muhammad bin Abdul Baqi’ (535 H) mengatakan: ”Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktu yang pernah berlalu dari umurku untuk main-main dan berbuat sia-sia.” (Siyar A’lamin Nubala’ XX/26)

Imam Hasan Al-bashri mengatakan: “Wahai anak cucu Adam, dirimu sebenarnya adalah hari-harimu yang kau alami, jika harimu berlalu maka berkuranglah sebagian hidupmu, sungguh aku pernah bertemu dengan suatu kaum, mereka lebih mengutamakan, mencintai dan menghargai waktu melebihi dari apa yang kau lakukan terhadap dinar dan dirham.”

Ibnu Mas’ud berkata: “Aku tidak pernah menyesal atas hari yang berlalu, kecuali ketika matahari terbenam dan usiaku berkurang, tetapi ilmuku tidak bertambah di hari itu.”

Al-Kholil bin Ahmad (160H) mengatakan; “Waktu itu ada tiga bagian, waktu yang sudah berlalu darimu dan tak akan kembali, waktu sekarang yang sedang kau alami dan ia juga akan berlalu darimu, dan waktu yang engkau tunggu yang bisa jadi engkau tidak bakal mendapatkannya.” (Thobaqotul hanaabilah hal.35-36)

Kisah Dawud bin Abi Hindun (139 H) adalah di antara contoh yang mengagumkan. Beliau berkata: “Ketika kecil aku berkeliling pasar. Ketika pulang kuusahakan diriku untuk selalu berdzikir kepada Allah ta’ala hingga tempat tertentu. Jika telah sampai kuusahakan lagi dariku untuk berdzikir kepada Allah hingga tempat selanjutnya…hingga sampai di rumah. Tujuannya agar kugunakan waktu dalam umurku.” (Siyar A’lamin Nubala’ VI/378)

Ibnu Rojab Al-hambali berkata: “Seorang pelajar hendaknya seorang yang cepat dalam berjalan, menulis, membaca ketika makan.” (Thobaqot Al-hanabilah). Terbiasa cepat dalam berjalan maka akan sehat di waktu tuanya, cepat membaca maka akan menghemat waktu belajarnya, sekaligus lebih banyak mendapatkan ilmu.

Contoh Salaful ummah menggunakan waktu

Di dalam perjalanan para ulama’ terdahulu terdapat banyak contoh yang mencengangkan bagaimana mereka menggunakan umurnya yang mampu mendorong kita agar benar-benar menjaga detik-detik ini. Para pendahulu kita dengan keterbatasan dana, teknologi, tidak ada listrik, printer, dan sejenisnya, namun amal mereka tak mampu ditandingi oleh manusia sekarang. Mereka menghabiskan waktu mereka untuk berjuang di jalan Allah, menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, melakukan amalan sunnah, berdzikir, bertasbih, beristighfar, mengajar, dan amal-amal ketaatan lainnya.

Abu Bakar Al-Baqilani pernah tidak tidur sebelum menulis sebanyak 35 halaman dari hafalannya. Abu Nashr Al-Farabi tinggal di Damaskus dekat taman dan kolam air. Di sinilah beliau pergunakan untuk menulis kitab-kitabnya. Imam Abu Yusuf sahabat Imam Abu hanifah menjelang detik-detik kematiannya masih sempat membahas masalah fiqh.

Seorang murid dari Al Alusi Al-hafidh, Bahjah Al-Atsari berkata: “Saya teringat bahwa saya tidak datang belajar pada suatu hari karena hujan dan angin kencang. Kami kira Al-Alusi tidak datang mengajar. Keesokan harinya beliau berkata: “Tidak ada kebaikan bagi orang yang terpengaruh oleh panas dan hujan untuk tidak belajar”.

Di antara sikap yang menakjubkan dalam menghargai waktu adalah Ibnu Taimiyah (590 H). Beliau tidak pernah membiarkan waktu berlalu tanpa mengajar, menulis, dan ibadah lainnya. Pada waktu masuk kamar kecil pun beliau meminta seseorang untuk membacakan kitab kepadanya dari luar.

Ibnu Rojab berkata: “Hal ini menunjukkan betapa kuat dan tingginya kecintaan beliau untuk mendapatkan ilmu dan memanfaatkan waktu”. Murid beliau, Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa beliau di saat sakitpun masih sempat membaca dan menelaah ilmu. (Roudhotut Tholibin)

Daud At-Tho’i diriwayatkan membaca lima puluh ayat ketika makan roti. Seorang bijak mengatakan; “Waktu adalah pedang, jika engkau tidak menggunakannya maka ia akan memotongmu. Bila engkau tidak menggunakan waktu yang ada, maka engkau akan celaka layaknya seseorang yang terkena sabetan pedang. Jika kamu tidak menggunakannya dalam kebaikan maka engkau akan dirusak di dalamnya.” (Bahjatus-nufus, Ibnu Abi Jamroh 3/96).

Sarri As-Saqoti ketika didatangi dan dikerumuni oleh orang-orang yang tidak memiliki kepentingan dan hanya berbasa-basi saja, maka dikatakan mereka: “Anda telah dikerumuni oleh orang-orang yang tidak punya tindakan, jika orang yang didatangi lemah maka mereka akan duduk berlama-lama dan akibatnya kerugian waktupun tak terhindarkan. Padahal kalian punya kewajiban-kewajiban yang banyak”.

Imam Amir bin Qois kedatangan seseorang dan mengajaknya untuk duduk-duduk saja, maka dikatakan kepadanya: “Saya akan berbicara denganmu namun tolonglah hentikan matahari terlebih dahulu”

Umur yang sia-sia

Banyak waktu terbuang dengan sia-sia. Ini adalah tanda utama orang-orang yang dianggap merugi. Hilangnya waktu, juga menyebabkan hilangnya umur secara sia-siapa. Beberapa hal di antara kesia-siaan itu adalah banyak berkunjung dan berkumpul namun tidak untuk menambah ilmu. Duduk-duduk hanya untuk berbasa-basi, berlebih-lebihan dalam bergaul, banyak bercanda dan tertawa, banyak jalan-jalan, banyak bicara lebih dari keperluan, minum kopi 1 gelas sampai berjam-jam, meng-ghibah dan bersantai-santai membuang usia sehingga terlepaslah darinya manfaat yang banyak.

Di antara menyia-nyiakan umur pula adalah sibuk dengan sesuatu yang tidak penting. Berasyik-ria dengan kegiatan yang remeh temeh. Seperti main catur, domino, menonton TV, baca desas-desus berita koran, nonton berita ghibah, SMS atau bicara di HP dengan sesuatu yang tidak penting. Sehingga banyak ketinggalan ilmu yang seharusnya ia miliki.

Imam Syafi’i pernah ditanya, “Bagaimana keinginan Anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab: “Ibarat seorang ibu yang kehilangan anak tunggalnya dan ia tidak memiliki anak kecuali anak tersebut.” (Adabus-Syafi’I wanaqibuh, Ar-Rozi, dinukil dari Ma’aalim fit-thoriqi thlabil ‘ilmi hal.41).

Bandingkanlah pemandangan antara Imam Syafi’I yang haus ilmu dengan orang-orang sekarang. Di kantor ia banyak ngobrol, meski banyak orang sedang membutuhkannya. Di rumah ia hanya nonton TV padahal banyak waktu bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. Bahkan nongkrong malam hari hanya untuk mengejak kesia-siaan.

Waktu lewat begitu saja dengan kelebihan jam tidur, banyak makan, banyak berleha-leha dan santai. Sehingga yang timbul justru panjang angan-angan, menunda-nunda pekerjaan, menunda taubat. Terutama antara adzan dan iqomah tidak digunakan untuk berdo’a, atau berdzikir, membaca al-Qur’an, mengulang hafalan, muhasabah, muroja’ah dan sebagainya.

Dalam kenyataan, kita saksikan manusia menggunakan umurnya dengan sesuatu yang aneh, membaca buku yang sama sekali tidak berguna, menyaksikan hiburan yang sungguh sia-sia, lawakan, berlama-lama istirahat, berhura-hura ke tempat keramaian dan sebagainya. Lebih aneh lagi kita sendiri menganggap aneh melihat seseorang yang mempersiapkan amal untuk perjalannya yang panjang, berpacu dengan cepatnya putaran waktu.

Imam Ibnu Jama’ah berkata: “Hendaknya seseorang membagi waktu malam dan siangnya, memanfaatkan sisa umur karena umur yang tersisa tidak ada bandingannya.”

Akhirul kalam, biasakanlah bertanya pada diri sendiri. Apa yang telah kita lakukan di waktu-waktu sehat dan luang kita? Apakah digunakan untuk tujuan kesehatan, kemanfaatan ilmu, untuk ibadah, atau hanya terbuang secara percuma?

Jika hanya kesia-siaan belakan, sepatutnya kita memohon kepada Allah agar mengasihi kita dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang mampu mengisi usia ini sebagus-bagusnya. Amiin. [Abu Hasan Husain/hidayatullah.com]

أبواب المعصية سبعة

Tujuh CARA Tinggalkan Maksiat
Thursday, 28 October 2010 11:01
Bahkan di saat istirahat dan di tempat yang kita anggap aman dari gangguan mata, masih saja ada kesempatan bermaksiat


“Tiada hari tanpa maksiat”, kata ini mungkin lebih tepat untuk suasana hidup di zaman ini. Di kantor, di kampus, di jalan, bahkan di rumah sendiri, fasilitas maksiat tersedia.

Di kantor, godaan maksiat ada di mana-mana. Teman, orang luar, bahkan diri sendiri. Jika tidak karena iman, bukan mustahil akan mudah bermaksiat di hadapan Allah baik dengan terang-terangan atau tersembunyi. Kesempatan terbuka luas. Jadi kasis kita bisa memanipulasi uang, jadi pemasaran kita bisa memanipulasi dan korupsi waktu.

Televisi kita 24 jam menyediakan tontonan penuh fitnah dan umbar aurat. Bahkan di saat istirahat dan di tempat yang kita anggap aman dari gangguan mata, masih saja ada kesempatan bermaksiat.

Memang, meninggalkan maksiat adalah pekerjaan yang tidak ringan. Ia lebih berat daripada mengerjakan taat (menjalankan yang diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya), karena mengerjakan taat disukai oleh setiap orang, tetapi meninggalkan syahwat (maksiat) hanya dapat dilaksanakan oleh para siddiqin (orang-orang yang benar, orang-orang yang terbimbing hatinya).

Terkait dengan hal tersebut Rasulullah Sallallahu aalaihi wa sallam. bersabda: "Orang yang berhijrah dengan sebenarnya ialah orang yang berhijrah dari kejahatan. Dan mujahid yang sebenarnya ialah orang yang memerangi hawa nafsunya."

Apabila seseorang menjalankan sesuatu tindak maksiat, maka sebenarnya ia melakukan maksiat itu dengan menggunakan anggota badannya. Orang yang seperti ini sejatinya telah menyalahgunakan nikmat anggota tubuh yang telah dianugerahkan Allah pada dirinya. Dalam bahasa lain dapat dikatakan, ia telah berkhianat atas amanah yang telah diberikan kepadanya.

Setiap kita berkuasa penuh atas anggota tubuh kita, pikiran dan jiwa kita. Akan tetapi, terkadang, kita begitu susah menggendalikan apa yang menjadi ‘milik kita’ itu. Tangan, mata, kaki dan anggota tubuh yang lain, kerap bergerak diluar kendali diri, yang tak jarang bertentangan dengan idealisme atau nilai-nilai keyakinan yang kita anut dan kita yakini. Padahal, rekuk relung kalbu kita bersaksi bahwa semua anggota tubuh itu, kelak akan menjadi saksi atas segala perbuatan kita di Padang Mahsyar.

Firman Allah SWT : "Pada hari ini (Kiamat) Kami tutup mulut-mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian lah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka lakukan (di dunia dahulu)." (Yassin: 65).

Bagaimana agar kita selamat dari maksiat?

Di bawah ini beberapa ikhtiar, yang bila dijalankan secara sungguh-sungguh, insya Allah membawa faedah.

1. Menjaga Mata

Peliharalah mata dari menyaksikan pemandangan yang diharamkan oleh Allah SWT seperti melihat perempuan yang bukan mahram. Hindari, atau minimal kurangi-- untuk pelan-pelan tinggalkan sejauh-jauhnya-- melihat gambar-gambar yang dapat membangkitkan hawa nafsu. Termasuk menjaga mata, janganlah memandang orang lain dengan pandangan yang rendah(sebelah mata/menghina) dan melihat keaiban orang lain.

2. Menjaga Telinga

Menjaga telinga dari mendengar perkataan yang tidak berguna seperti: ungkapan-ungkapan mesum/kotor/jahat. Poin kesatu dan kedua ini menjadi tidak mudah di saat di mana gosip telah menjadi komuditas ekonomi. Gosip telah menjadi kejahatan berjamaah yang dianggap hal yang lumrah dilakukan, dan wajib ditonton dan disimak. Kehadirannya disokong dana yang tidak sedikit, dimanajeri, ada penulis skenarionya, ada kepala produksinya, ada reporternya dan seterusnya.

Rasulullah S.A.W. bersabda : "Sesungguhnya orang yang mendengar (seseorang yang mengumpat orang lain) adalah bersekutu (di dalam dosa)dengan orang yang berkata itu. Dan dia juga dikira salah seorang daripada dua orang yang mengumpat."

Oleh karenanya, menjaga mata-telinga adalah pekerjaan yang memerlukan energi dan kesungguhan yang kuat dan gigih.

3.Menjaga Lidah

Lidah adalah anggota tubuh tanpa tulang yang kerap mengantarkan pada perkara-perkara besar. Kehancuran rumah tangga, pertengkaran sahabat karib, hingga peperangan antar negara, dapat dipicu dari sepotong daging kecil di celah mulut kita ini.

Rasulullah Saw. bersabda : “Kebanyakan dosa anak Adam karena lidahnya.” (Riwayat Athabrani dan Al Baihaqi)

Jagalah lidah dari perkara-perkara seperti berbohong, ingkar janji, mengumpat, bertengkar / berdebat / membantah perkataan orang lain, memuji diri sendiri, melaknat(mncela) makhluk Allah, mendoakan celaka bagi orang lain dan bergurau( yang mengandung memperolok atau mengejek) orang lain.

4. Menjaga Perut

Yang hendaknya selalu di ingat: perut kita bukan tong sampah! Input yang masuk ke dalam perut akan berpengaruh langsung/tidak langsung terhadap tingkah laku/sikap/tindakan kita. Karenanya, peliharalah perut dari makanan yang haram atau yang syubahat. Sekalipun halal, hindari memakannya secara berlebihan. Sebab hal itu akan menumpulkan pikiran dan hati nurani. Obesitas (kelebihan berat badan) adalah penyakit modern sebagai akibat lain dari tidak terkontrolnya urusan perut.

5. Menjaga Kemaluan

Kendalikan sekuat daya dorongan melakukan apa-apa yang diharam kan oleh Allah SWT. Firman Allah-Nya:"Dan mereka yang selalu menjaga kemaluan mereka, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau apa-apa yang mereka miliki (daripada hamba jariah) maka mereka tidak tercela." (Al Mukminun: 5-6)

6.Menjaga Dua Tangan

Kendalikan kedua tangan dari melukai seseorang (kecuali dengan cara hak seperti berperang, atau melakukan balasan yang setimpal). Katakan “stop”, pada tangan, ketika akan bertindak sesuatu yang diharamkan, atau menyakiti makhluk Allah, atau menulis sesuatu yang diharamkan atau menyakiti perasaan orang lain.

7.Menjaga Dua Kaki

Memelihara kedua kaki dari berjalan ke tempat yang diharamkan atau berjalan menuju kelompok orang atau penguasa yang zalim tanpa ada alasan darurat karena sikap dan tindakan itu dianggap menghormati kezaliman mereka, sedangkan Allah menyuruh kita berpaling dari orang yang zalim.

Firman Allah SWT. : "Dan jangan kamu cenderung hati kepada orang yang zalim, nanti kamu akan disentuh oleh api neraka." (Hud: 113)

Pintu-pintu bagi masuknya maksiat terbuka lebar pada ketujuh anggota tubuh di atas. Pun kunci-kuncinya ada dalam genggaman tangan kita untuk membendungnya. Jadi, semua kembali kepada manusianya. Tentu hamba Allah yang cerdik, adalah mereka yang mempergunakan amanah tubuh untuk senantiasa berjalan di atas rel keridhaan-Nya.

Akhirul kalam, ada sebuah hadits Nabi mengatakan, “Barangsiapa meninggalkan maksiat terhadap Allah karena takut kepada Allah, maka ia akan mendapatkan keridhaan-Nya.” (Riwayat Abu Ya’li). Nah, bagaimana dengan kita? [Ali Athwa/hidayatullah.com]

توبة الأعضاء

Home Kajian
Enam Taubatnya Anggota Tubuh
Monday, 11 October 2010 13:20
Taubatnya pendengaran dengan tidak menyimak kebatilan. Taubatnya kemaluan dengan berhenti berbuat keji

oleh: Ali Akbar bin Agil*

MENJAGA hati merupakan pekerjaan berat. Butuh kesungguhan dalam menghadapi godaan yang datang secara bertubi-tubi yang terkadang membuat kita terkapar menyerah dengan keadaan yang ada. Padahal, hati laksana mahkota dalam jiwa.

Hati, sebagaimana diungkap oleh Syaikh Abdullah bin Alwi Al-Haddad, adalah raja seluruh angota tubuh. Hati merupakan sumber akidah, akhlaq, niat yang tercela maupun terpuji. “Seseorang tidak akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali sanggup menyucikan hatinya dari keburukan dan kehinaan serta menghiasinya dengan kebaikan dan keutamaan,” tulisnya.

Di sinilah, sekali lagi, pentingnya menata hati. Dalam diri kita, seperti menirukan sabda Nabi Muhamad SAW, “Ada segumpal daging. Jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh, itu adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim).

Supaya tidak terjerumus dalam kubangan maksiat yang membuahkan penyesalan tiada terperihkan, ada baiknya kita melakukan langkah-langkah berikut ini.

Pertama, jangan memulai berbuat maksiat. Proses terjadinya maksiat diceritakan secara detail oleh Ibnu Qayyim. Katanya, “Lawanlah lintasan itu! Jika dibiarkan, ia akan menjadi fikrah (gagasan). Lawanlah fikrah itu! Jika tidak, ia akan menjadi syahwat. Perangilah syahwat itu! Jika tidak, ia akan menjadi `azimah (hasrat). Apabila ini juga tidak dilawan, ia akan berubah menjadi perbuatan. Dan jika perbuatan itu tidak Anda temukan lawannya maka ia akan menjadi kebiasaan, dan setelah itu sulit bagimu meninggalkannya.”

Sekecil apapun peluang maksiat, tutup segera. Membuka hati untuk maksiat sama saja mempersilakan diri kita dijarah oleh setan dan dosa. Sebuah maksiat akan melahirkan maksiat berikutnya. Demikian seterusnya, lambat laun ia menjadi sebuah tren dalam denyut kehidupan seseorang. Sehingga membutuhkan energi yang luar biasa untuk menghentikan luapan maksiat tersebut.

Kedua, menjernihkan hati. Hati yang jernih membuat kita lebih sensitif terhadap maksiat. Menjernihkan hati diawali dengan zuhud. Hidup zuhud bukan berarti lari dari dunia, menjauhi manusia. Tapi menjalani pola hidup dengan kebersahajaan, kesejajaran, tidak berlebihan, proposional, dan sesuai kebutuhan bukan yang selaras keinginan.

Ibrahim bin Adham ditanya oleh seseorang, “Bagaimana engkau mendapatkan zuhud?” Ibrahim menjawab, “Dengan tiga perkara: (1) Saya melihat keadaan kubur yang mengerikan sedang belum kudapati pelipur (2) Saya melihat sebuah jalan yang panjang sementara belum kumiliki bekal (3) Dan saya melihat Allah yang Maha Perkasa mengadili, padahal saya belum memiliki hujjah (argumentasi).”

Kejernihan hati menjadi sumber ketenteraman hidup. Tidak gusar dan gelisah atas apa yang tidak ada serta selalu bersyukur dengan apa yang ada. Sebaliknya, kegersangan hati sebagai akibat ketidakmampuan mengendalikan diri, membuat gerakan dan nafas tersenggal-senggal, terseok-seok tak tentu arah.

Ketiga, bertaubat. Tidak ada manusia suci selain para Nabi dan Rasul. Jika suatu saat kita melakukan maksiat baik disengaja ataupun tidak, solusinya adalah dengan bertaubat, memohon ampun kepada Allah. Inilah cara ketiga.

Taubat dari segala tindak tanduk maksiat, mulai anggota tubuh hingga ke dalam hati. Dzun Nun Al-Misri menjelaskan cara taubat secara menyeluruh. Ia berkata, “Setiap anggota tubuh manusia ada ‘jatah’ taubatnya: (1) Taubatnya hati dengan berniat meninggalkan hal-hal yang dilarang (2) Taubatnya mata dengan menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram (3) Taubatnya kedua tangan dengan meninggalkan penggunaan sesuatu yang bukan haknya (4) Taubatnya kedua kaki dengan meninggalkan usaha berjalan ke tempat-tempat yang membuat lalai kepada Allah (5) Taubatnya pendengaran dengan tidak menyimak kebatilan (6) Taubatnya kemaluan dengan berhenti berbuat keji.”

Tiga cara tersebut merupakan upaya mengorganisasikan kembali hatiku, hatimu, dan hati kita yang centang-perenang. Semoga.

توبة الأعضاء

Home Kajian
Enam Taubatnya Anggota Tubuh
Monday, 11 October 2010 13:20
Taubatnya pendengaran dengan tidak menyimak kebatilan. Taubatnya kemaluan dengan berhenti berbuat keji

oleh: Ali Akbar bin Agil*

MENJAGA hati merupakan pekerjaan berat. Butuh kesungguhan dalam menghadapi godaan yang datang secara bertubi-tubi yang terkadang membuat kita terkapar menyerah dengan keadaan yang ada. Padahal, hati laksana mahkota dalam jiwa.

Hati, sebagaimana diungkap oleh Syaikh Abdullah bin Alwi Al-Haddad, adalah raja seluruh angota tubuh. Hati merupakan sumber akidah, akhlaq, niat yang tercela maupun terpuji. “Seseorang tidak akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali sanggup menyucikan hatinya dari keburukan dan kehinaan serta menghiasinya dengan kebaikan dan keutamaan,” tulisnya.

Di sinilah, sekali lagi, pentingnya menata hati. Dalam diri kita, seperti menirukan sabda Nabi Muhamad SAW, “Ada segumpal daging. Jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh, itu adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim).

Supaya tidak terjerumus dalam kubangan maksiat yang membuahkan penyesalan tiada terperihkan, ada baiknya kita melakukan langkah-langkah berikut ini.

Pertama, jangan memulai berbuat maksiat. Proses terjadinya maksiat diceritakan secara detail oleh Ibnu Qayyim. Katanya, “Lawanlah lintasan itu! Jika dibiarkan, ia akan menjadi fikrah (gagasan). Lawanlah fikrah itu! Jika tidak, ia akan menjadi syahwat. Perangilah syahwat itu! Jika tidak, ia akan menjadi `azimah (hasrat). Apabila ini juga tidak dilawan, ia akan berubah menjadi perbuatan. Dan jika perbuatan itu tidak Anda temukan lawannya maka ia akan menjadi kebiasaan, dan setelah itu sulit bagimu meninggalkannya.”

Sekecil apapun peluang maksiat, tutup segera. Membuka hati untuk maksiat sama saja mempersilakan diri kita dijarah oleh setan dan dosa. Sebuah maksiat akan melahirkan maksiat berikutnya. Demikian seterusnya, lambat laun ia menjadi sebuah tren dalam denyut kehidupan seseorang. Sehingga membutuhkan energi yang luar biasa untuk menghentikan luapan maksiat tersebut.

Kedua, menjernihkan hati. Hati yang jernih membuat kita lebih sensitif terhadap maksiat. Menjernihkan hati diawali dengan zuhud. Hidup zuhud bukan berarti lari dari dunia, menjauhi manusia. Tapi menjalani pola hidup dengan kebersahajaan, kesejajaran, tidak berlebihan, proposional, dan sesuai kebutuhan bukan yang selaras keinginan.

Ibrahim bin Adham ditanya oleh seseorang, “Bagaimana engkau mendapatkan zuhud?” Ibrahim menjawab, “Dengan tiga perkara: (1) Saya melihat keadaan kubur yang mengerikan sedang belum kudapati pelipur (2) Saya melihat sebuah jalan yang panjang sementara belum kumiliki bekal (3) Dan saya melihat Allah yang Maha Perkasa mengadili, padahal saya belum memiliki hujjah (argumentasi).”

Kejernihan hati menjadi sumber ketenteraman hidup. Tidak gusar dan gelisah atas apa yang tidak ada serta selalu bersyukur dengan apa yang ada. Sebaliknya, kegersangan hati sebagai akibat ketidakmampuan mengendalikan diri, membuat gerakan dan nafas tersenggal-senggal, terseok-seok tak tentu arah.

Ketiga, bertaubat. Tidak ada manusia suci selain para Nabi dan Rasul. Jika suatu saat kita melakukan maksiat baik disengaja ataupun tidak, solusinya adalah dengan bertaubat, memohon ampun kepada Allah. Inilah cara ketiga.

Taubat dari segala tindak tanduk maksiat, mulai anggota tubuh hingga ke dalam hati. Dzun Nun Al-Misri menjelaskan cara taubat secara menyeluruh. Ia berkata, “Setiap anggota tubuh manusia ada ‘jatah’ taubatnya: (1) Taubatnya hati dengan berniat meninggalkan hal-hal yang dilarang (2) Taubatnya mata dengan menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram (3) Taubatnya kedua tangan dengan meninggalkan penggunaan sesuatu yang bukan haknya (4) Taubatnya kedua kaki dengan meninggalkan usaha berjalan ke tempat-tempat yang membuat lalai kepada Allah (5) Taubatnya pendengaran dengan tidak menyimak kebatilan (6) Taubatnya kemaluan dengan berhenti berbuat keji.”

Tiga cara tersebut merupakan upaya mengorganisasikan kembali hatiku, hatimu, dan hati kita yang centang-perenang. Semoga.

Wednesday, November 17, 2010

Hukum memakai tali leher

Mufti Afsel Jelaskan Hukum Mengenakan talileher
Tuesday, 26 October 2010 14:17 HUKUM
Jika mengenakan dasi karena dorongan ingin meniru budaya Barat, hukumnya haram. Jika hanya karena peraturan tidak mengapa


Hidayatullah.com--Mufti Siraj Desai, seorang ulama yang sering dijadikan rujukan di Afrika Selatan membahas hukum memakai dasi bagi seorang Muslim. Walau dasi bukan simbol salib, namun seorang Muslim tidak boleh memakainya dalam beberapa kondisi, sebagaiman dilansir dalam situs resminya, askmufti.co.za (25/10).

Sebagaimana dipublikasikan dalam situs resminya, Syeikh Siraj Desai menjelaskan bahwa talileher bukanlah simbol salib. Menurut mufti yang banyak berbijak kepada madzhab Hanafi ini, dalam banyak penelitian, tidak ada hubungan antara salib dengan dasi.

Sejarah Talileher

Talileher pertama kali dipakai pada abad ke enam belas oleh para prajurit Croation. Mereka mengenakan sepotong kain diikat di leher sebagai pakaian tradisonal. Perancis kemudian tertarik mengapdosi bentuk pakaian ini setelah para prajurit tersebut masuk Perancis. Beberapa abad kemudian, Inggris mengadopsinya, kebanyakan digunakan tentara, untuk menutup mulut dari debu dan menjaga agar leher hangat.

Praktik mengenakan kain leher ini akhirnya merambat ke Amerika. Pada tahun 1864 Jerman dan Amerika mulai meproduksi versi modern dari ikat leher ini dan mereka mematenkannya.

Islam Memandang Talileher

Berdasarkan penjelasan di atas, Mufti Siraj Desai memandang bahwa talileher bukanlah simbol salib dan bukanlah simbol agama. Sebab itulah seorang Muslim boleh menggunakannya dalam kondisi tertentu. Namun, karena talileher (saat ini) tidak memiliki fungsi kecuali hanya sebagai model, maka makruh memakainya. Karena syariat tidak menghendaki seorang Muslim memakai pakaian yang tidak bermanfaat.

Namun, jika tempat bekerja atau sekolah menuntut untuk menggunakan pakaian ini, diizinkan untuk mengenakannya.

Sedangkan bagi mereka yang mengenakan talileher bukan karena alasan formal seperti di atas, bahkan karena hanya didorong ingin meniru budaya Barat atau percaya bahwa talileher adalah simbol kehormatan, maka dia berdosa dan memakai dasi dalam keadaan demikian dilarang, bukan makruh lagi.

Mufti Siraj Desai merujuk firman Allah, yang artinya,” …Apakah mereka mengharapkan penghormatan dari pihak mereka itu (orang-orang kafir)? Ketahuilah bahwa semua izzah milik Allah.” (An Nisa [4]: 139)

Menurut Siraj Desai, orang Muslim dibolehkan mengenaikan pakaian orang-orang kafir karena kebutuhan, seperti pakaian dan celana, namun tidak boleh percaya terhadap nilai-nilai dari budaya mereka. Jika, hal dilakukan maka ia terjerumus kepada keharaman. Sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan At Thabarani, “Bukan bagian dari kita, siapa yang mempraktikan cara-cara orang lain( selain Islam).[tho/ask/hidayatullah.com]

Thursday, November 11, 2010

شروط الحج عن غيره

ن الأموات بشكل منظم .. القرضاوي لـ «عكاظ» :
حج الوافدين بالنيابة لا بد أن يكون من بلد الموكّل عنه
نعيم تميم الحكيم ــ جدة

بين رئيس الاتحاد العالمي للعلماء المسلمين الدكتور يوسف القرضاوي؛ أن حج الوافدين بعضهم عن بعض لم يرد فيه نص شرعي من كتاب أو سنة، وإن أجازه من أجازه من العلماء، مضيفا «إذا تساهلنا، وأجزنا في حج الوافدين بعضهم عن بعض، فلا بد أن يكون من بلد المحجوج عنه؛ فإذا كان من مصر، يحج عنه من ينوب عنه من مصر، وإذا كان من بريطانيا يحج عنه شخص من بريطانيا، وهكذا؛ حتى لا يكون البدل مخالفا للأصل».
وقال القرضاوي لـ«عكاظ»: «أرى أنه لايجب توكيل بعض طلبة العلم في السعودية بحجهم عن غيرهم بالأجرة، وهذا لا يوفي بالمقصود، وهذا ما أرجحه».
ورأى رئيس الاتحاد العالمي لعلماء المسلمين؛ أنه لايرى التوسع في الحج عن الأموات بشكل منظم وقال «أنا لا أرى التوسع في الحج عن الأموات، بحيث يستأجر الإنسان من يحج عنه؛ فالأصل في الحج أنه عبادة ذاتية، والأصل ألا يؤجر الإنسان إلا عن عمله. قال تعالى: «وأن ليس للإنسانِ إلا ما سعى»، مضيفا «إنما وسع الله على عباده لينوب عنهم غيرهم، في حالات معينة، فضلا منه ورحمة، وجعل ذلك للأولاد ــ كما دلت على ذلك الأحاديث ــ ابنا أو بنتا عن أبيهما أو أمهما، باعتبار أن الولد من كسب أبيه، ويمكن أن يدخل في ذلك الأقرباء؛ لما في ذلك من الصلة الرحمية، كما في حديث الرجل الذي سمعه يقول: لبيك اللهم عن شبرمة. قال: «ومن شبرمة؟» قال: أخ لي، أو قريب لي. قال: «أحججت عن نفسك؟»، قال: لا، قال: «حج عن نفسك، ثم عن شبرمة فأجاز هذا الحديث أن يحج الإنسان عن قريبه».
وأفاد القرضاوي أن «أخذ الأجرة أو مبلغ زهيد في مقابل الوساطة أو التنظيم لهذا العمل، فلا بأس به؛ لأنه في مقابل جهد مشروع، وقد شرع الله للعاملين على الزكاة أن يأخذوا أجرتهم منها».

شروط الحج عن غيره

ن الأموات بشكل منظم .. القرضاوي لـ «عكاظ» :
حج الوافدين بالنيابة لا بد أن يكون من بلد الموكّل عنه
نعيم تميم الحكيم ــ جدة

بين رئيس الاتحاد العالمي للعلماء المسلمين الدكتور يوسف القرضاوي؛ أن حج الوافدين بعضهم عن بعض لم يرد فيه نص شرعي من كتاب أو سنة، وإن أجازه من أجازه من العلماء، مضيفا «إذا تساهلنا، وأجزنا في حج الوافدين بعضهم عن بعض، فلا بد أن يكون من بلد المحجوج عنه؛ فإذا كان من مصر، يحج عنه من ينوب عنه من مصر، وإذا كان من بريطانيا يحج عنه شخص من بريطانيا، وهكذا؛ حتى لا يكون البدل مخالفا للأصل».
وقال القرضاوي لـ«عكاظ»: «أرى أنه لايجب توكيل بعض طلبة العلم في السعودية بحجهم عن غيرهم بالأجرة، وهذا لا يوفي بالمقصود، وهذا ما أرجحه».
ورأى رئيس الاتحاد العالمي لعلماء المسلمين؛ أنه لايرى التوسع في الحج عن الأموات بشكل منظم وقال «أنا لا أرى التوسع في الحج عن الأموات، بحيث يستأجر الإنسان من يحج عنه؛ فالأصل في الحج أنه عبادة ذاتية، والأصل ألا يؤجر الإنسان إلا عن عمله. قال تعالى: «وأن ليس للإنسانِ إلا ما سعى»، مضيفا «إنما وسع الله على عباده لينوب عنهم غيرهم، في حالات معينة، فضلا منه ورحمة، وجعل ذلك للأولاد ــ كما دلت على ذلك الأحاديث ــ ابنا أو بنتا عن أبيهما أو أمهما، باعتبار أن الولد من كسب أبيه، ويمكن أن يدخل في ذلك الأقرباء؛ لما في ذلك من الصلة الرحمية، كما في حديث الرجل الذي سمعه يقول: لبيك اللهم عن شبرمة. قال: «ومن شبرمة؟» قال: أخ لي، أو قريب لي. قال: «أحججت عن نفسك؟»، قال: لا، قال: «حج عن نفسك، ثم عن شبرمة فأجاز هذا الحديث أن يحج الإنسان عن قريبه».
وأفاد القرضاوي أن «أخذ الأجرة أو مبلغ زهيد في مقابل الوساطة أو التنظيم لهذا العمل، فلا بأس به؛ لأنه في مقابل جهد مشروع، وقد شرع الله للعاملين على الزكاة أن يأخذوا أجرتهم منها».

Sunday, November 7, 2010

حكم قص الأظافر والشعر قبل عشر ذي الحجة

حـكـم أخـذ الشـَّعـر أو الظـُّـفــُر

في عشر ذي الحجة لمن أراد أن يُضحِّي



د. سائد بكـداش

الأستاذ المشارك بقسم الدراسات الإسلامية

في كلية التربية -جامعة طيبة بالمدينة المنورة

M

الحمد لله رب العالمين, وأفضل الصلاة وأكمل التسليم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين . وبعد:

فإنه حين يُهِلُّ هلالُ ذي الحجة من كل عام, وتدخل العشر المباركة منه, ويبدأ الناس بالاستعداد للأضاحي, ويتهيأون لاستقبال عيد الأضحى: يأتي سؤال الكثيرين في تلك الغمرة مع حَيْرة وتردد لكثرة ما يسمعون: هل يجوز لمن أراد أن يضحي إذا هلَّ هلال الحجة ودخلت العشر أن يأخذ شيئاً من شعر رأسه, أو لحيته, أو ظفره, أو نحو ذلك, أم لا يجوز؟

وحين وجدت ذلك يتكرر مراراً, ويُطرح في المجالس ليلاً ونهاراً, حتى كثُر فيه الجدال والنقاش, ولم أر مَن بَسَطَ القول في هذه المسألة, ولم أجد مَن كَتَبَ فيها كتابة مستقلة مفردة, وجدت نفسي أمام بحث جدير بأن يُخَصَّ بدراسة متعمقة مستقصيةٍ لما ورد في هذه المسألة من أقوالٍ للفقهاء, وما استدلوا به من أدلة, مع بيان وجهة نظر كلٍّ منهم.

وهكذا استعنت بالله تعالى على ذلك, راجياً منه جلَّ وعلا السداد والصواب والقبول, والإخلاص في القول والعمل.

هذا وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلَّم تسليماً كثيراً, والحمد لله أولاً وآخراً.



الأضـحــيــة

لغة: بضم الألف, وقيل بكسرها, وتخفيف الياء وتشديدها, وجمعها: أضاحي. ويقال لها: ضَحِيَّة: بفتح الضاد, وتشديد الياء, وجمعها: ضحايا([1]). والأضحية في الشرع: هي الشاة التي تُذبح يوم الأضحى, أو ما يُذكَّى من النَّعَم تقرباً إلى الله تعالى في أيام النحر بشرائط مخصوصة. وقد شُرعت الأضحية في السنة الثانية من الهجرة, وهي السنة التي شرعت فيها صلاة العيدين, وزكاة المال([2]).


فـضــــل الأضـحــيــة

1ـ عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله r قال: (ما عمل آدمي من عمـل يوم النَّحْر أحبَّ إلى الله من إهراق الدم, إنها لتأتي يوم القيامة بقرونها, وأشعارها, وأظلافها, وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض, فطيِّبوا بها نفساً)([3]).
2ـ قال الترمذي([4]): ويروى عن النبي r أنه قال: (في الأضحية لصاحبها بكل شعرة حسنة).

3ـ وعن علي t أن رسول الله r قال: (يا فاطمة قومي فاشهدي أضحيتك, فإن لك بأول قطرة مغفرة لكل ذنب, أَمَا إنه يُجاء بلحمها ودمها توضع في ميزانك سبعين ضعفاً). قال أبو سعيد: يا رسول الله. هذا لآل محمد خاصة, فإنهم أهلٌ لما خُصُّوا به من الخير, أو للمسلمين عامة؟ قال r : (لآل محمد خاصة, وللمسلمين عامة). الحديث([5]).



حـــــكــم الأضــحـيــة

اختلف فقهاء المذاهب الأربعة في حكم الأضحية على قولين:
القول الأول: أنها واجبة, وبهذا قال الحنفية([6]): أبو حنيفة ومحمد وزفر والحسن بن زياد وإحدى الروايتين عن أبي يوسف.

والواحب هنا عند الحنفية على مصطلحهم, وهو درجة بين الفرض والسنة, كما أنه على مراتب, بعضها آكد من بعض: فوجوب سجدة التلاوة آكد من وجوب صدقة الفطر, ووجوب صدقة الفطر آكد من وجوب الأضحية, وذلك باعتبار تفاوت الأدلة في القوة([7]).

القول الثاني: أنها سنة مؤكدة, وبهذا قال المالكية([8]) والشافعية([9]) والحنابلة([10]), ورواية عن أبي يوسف صاحب الإمام أبي حنيفة.

ومما استَدل به أصحاب القول الأول: ما رواه أبو هريرة t قال: قال رسول الله r : (مَن وَجَد سَعَةً فلم يضحِّ: فلا يقربنَّ مصلانا)([11]).

وجه الدلالة: أن مثل هذا الوعيد لا يلحق بترك غير الواجب.

ومما استَدل به أصحاب القول الثاني: ما رواه ابن عباس رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله r يقول:

(ثلاثٌ هنَّ علي فرائض, وهنَّ لكم تطوع: الوتر, والنحر, وصلاة الأضحى) ([12]).



وقت التـضـحـيـة

اتفق فقهاء المذاهب الأربعة([13]) في بدء وقت التضحية جملة, مع تفصيل في بعض الفروع, فقالوا: يبدأ وقتها من بعد صلاة العيد. وهذا لأهل الأمصار عند الحنفية, وأما غير أهل الأمصار, فيبدأ وقت التضحية من بعد طلوع الفجر. وأما غير الحنفية فلا فرق عندهم بين أهل الأمصار وغيرهم. وأما نهاية وقت التضحية فاختلفوا فيه على قولين:
القول الأول: ينتهي بغروب شمس ثالث أيام العيد, أي: يوم العيد ويومان بعده من أيام التشريق, وبهذا قال الحنفية, والمالكية, والحنابلة.

القول الثاني: ينتهي بغروب شمس رابع أيام العيد, أي: يوم العيد, وثلاثة أيام من أيام التشريق, وبهذا قال الشافعية. ولكلٍّ أدلته من أقوال الصحابة رضي الله عنهم, وغيرها, تنظر في المصادر السابقة الذكر لكل مذهب. وبيان وقت التضحية يفيدنا جداً في مسألة البحث, لأن حكم أخذ الشعر والظفر ينتهي عند التضحية, فمنهم من يضحي أول يوم, ومنهم من يضحي بعده, وهكذا.

أقوال الفقهاء في مسألة أخذ الشعر أو الظفر في عشر ذي الحجة لمن أراد أن يضحي

اتفق الفقهاء رضي الله عنهم على جواز أخذ الشعر والظفر في عشر ذي الحجة لمن لم يُـــــرِد أن يضحي, إذ هو حلال .
لكن اختلفوا في حكم أخذ الشعر أو الظفر في عشر ذي الحجة لمن أراد أن يضحي على أربعة أقوال:

القــول الأول:

إباحة وجواز الأخذ, ومن فعل ذلك وأخذ من شعره أو ظفره: فلا بأس عليه, ولا يكره ذلك. وبهذا قال الحنفية: أبو حنيفة وصاحباه. وأسوق فيما يلي عبارات أئمة الحنفية في ذلك:

? قـال الإمام الطحاوي([14]) (ت 321 ه): لا بأس بقص الأظافر والشعر في أيـــام الـعـشــر لمن عزم على أن يضحي, ولمن لــم يعزم على ذلك, وهو قول الإمام أبي حنيفة وصاحبيه. وقال الإمام أبو بكر الرازي الجصاص([15]) (ت 370 ه): لا بأس لمن يريد أن يضحي أن يحلق شعره, ويقص أظفاره في عشر ذي الحجة. أما الإمام القدوري (ت 428 ه) فقد قال([16]): إذا دخل العشر وأراد الإنسان أن يضحي, أو عيَّن أضحيته: لم يلزمه أن يجتنب حلق الشعر, وقصَّ الأظافر .اه . وممن صرَّح بهذا الحكم من متأخري الحنفية الإمام ابنُ مَلَك عبد اللطيف بن عبد العزيز (ت 801 ه), حيث قال في كتابه مبارق الأزهار([17]): وذهب أبو حنيفـة, ومالك في رواية إلى أن إزالة الشعر والظفر غير مكروهة اه. ونقل هذا الحكم عن ابن ملك الإمام ملا علي القاري(ت 1014ه), ولكن بصياغة أخرى, أن ابن ملك قال: ورخَّص في الأخذ أبو حنيفة والأصحاب([18]). وقــد نقل هـــذا الــــرأي عن الحـنـفـيـة فريقٌ من الأئمة من غير الحنفية, وهــذه عباراتهم: ـ قال الإمام الخطابي (ت 388 ه) في معالم السنن([19]): ورخَّص أصحــاب الرأي في ذلك. اه ـ وعـبَّر ابن حزم([20]) (ت 463 ه), وابن الـقـيـم([21]) (ت 751 ه) بقولهما: وذهب أبو حنيفة وأصحابه إلى الإباحة. اه

? وعبَّر فريق كبير منهم([22]) بقولهم: وقال أبو حنيفة: لا يكره ذلك. اه

? وقال الماوردي (ت 450 ه) في الحاوي الكبير([23]): وقال أبو حنيفة, ومالك: ليس بسنة, ولا يكره. اه، وقال ابن جُزَي (ت 741 ه) في القوانين الفقهية([24]): ولم يستحب أبو حنيفة ذلك. وقال قاضي القضاة الإمام محمد بن عبد الرحمن الدمشقي الشافعي (ت بعد 780 ه), صاحب كتاب رحمة الأمة في اختلاف الأئمة([25]): قال أبو حنيفة: الأخذ مباح, لا يكره, ولا يستحب. اه

? ونُقل مثل هذا القول, وأن الأخذ مباح لا بأس به: عن الإمام مالك رحمه الله, بل جعله ابن عبد البر([26]) هو المذهب عند المالكية, وجعله أيضاً قولَ سائر فقهاء المدينة والكوفة. أما ابن رجب الحنبلي([27]) فقد جعله قول كثير من الفقهاء. وجعل الطحاوي([28]) هذا القول هو قول الإمام الفقيه المحدث عطاء بن يسار المدني (ت 103 ه), أحدِ كبار التابعين, ومولى أم المؤمنين ميمونة الهلالية, وأيضاً جَعَلَه قولَ أبي بكر بن عبد الرحمن بن الحارث بن هشام (ت 94 ه) أحد الفقهاء السبعة بالمدينة المنورة.

القول الثاني

يستحب عدم الأخذ, ومن فعل ذلك وأخذ من شعره أو ظفره: فلا بأس عليه, ولا يكره, لكنه خلاف الأَوْلى. وبهذا قال فريق من متأخري الحنفية, بل نُسِب لشُرَّاح الحديث من الحنفية. فقد قال الإمام ملا علي القاري([29]) (ت 1014 ه) بعد أن نقل كلام ابن مَلَك السابق, وهو: ورخَّص في الأخذ أبو حنيفة والأصحاب قال: وظاهر كلام شُرَّاح الحديث من الحنفية: أنه يستحب ـ عدم الأخذ ـ عند أبي حنيفة, فمعنى: رخَّص([30]): أن النهي للتنزيه, فخلافه: خلاف الأَوْلى, ولا كراهة فيه, خلافاً للشافعي. اه

وقال ابن عابدين([31]) نقلاً عن شرح منية المصلي([32]) للحلبي إبراهيم بن محمد (ت 956 ه), حين ذكر حديث أم سلمة الآتي قريباً في النهي عن أخذ الشعر والظفر في عشر ذي الحجة لمن أراد أن يضحي قال: فهذا محمولٌ على الندب, دون الوجوب بالإجماع. اه, والمراد إجماع الحنفية, والله أعلم. وتمام عبارة ابن عابدين نقلاً عن شرح المنية:

(وفي المضمرات: عن ابن المبارك([33]) (ت 181 ه) في تقليـــم الأظافر, وحلــق الرأس في العشـــــر ــ أي عشـــــر ذي الحجـــة ــ قــال: لا تُــؤخَّــر الســُّنَّة, وقد وَرَدَ ذلك, ولا يجب التأخير. اه، ومما ورد في صحيح مســــلم: قال رســـول الله r: إذا دخل العشـــر, وأراد بعضُكم أن يضحي: فلا يأخذنَّ شـــعراً, ولا يَقلمنَّ ظفراً. فهذا محمـــولٌ على النـــدب, دون الوجـــوب بالإجماع. فظهر قوله: ولا يجب التأخير, إلا أن نفـــي الوجــــوب: لا ينافي الاستحباب, فيكون مســـتحباً([34]), إلا إذا اســــتلزم الزيـــادة على وقـــت إبـــاحــــة التـــأخير, ونهايتُه ما دون الأربعين([35]), فلا يباح فوقها([36])). اه من ابن عابدين نقلاً عن شرح منية المصلي.

ويظهر من هذه النقول, أن أصحاب هذا القول يفرِّقون في هذه المسألة بين خلاف الأولى, والكراهة التنزيهية, وأن خلاف الأَولى (تَرْك الأَوْلى) هو دون الكراهة التنزيهية, وأن مَن أخذ من الشعر أو الظفر فقد فعل خلاف الأَوْلى, ولا يكره ذلك, كما صرَّحوا به فيما تقدَّم.

ولبيان هذا المصطلح الأصولي: (خلاف الأَوْلى), وهل هو مطابقٌ لما قاله الإمام ملا علي القاري في هذه المسألة, أنقل ما قاله ابن عابدين([37]) رحمه الله, ونصُّه: مطلب: ترك المندوب: هل يكره تنزيهاً؟ وهل يُفرَّق بين التنزيه, وخلاف الأَوْلى؟ ثم نقل ابن عابدين عن النهر الفائق قولَه: ولا شك أن ترك المندوب: خلافُ الأَوْلى. اه، كما نقل عن البحر الرائق([38]) قولَه: ولا يلزم من تَرْك المستحب: ثبوت الكراهة, إذ لابدَّ من دليلٍ خاص, ثم قال ابن عابدين: وهو الظاهر, ففِعْل النوافل من الطاعات أَوْلى من تركها, ولا يقال: إن تركها مكروه تنزيهاً. اه، وقال ابن عابدين([39]) أيضاً: والظاهر أن خلاف الأَوْلى أعمُّ, فكل مكروه تنزيهاً: خلاف الأَوْلى, ولا عكس, لأن خلاف الأَوْلى قد لا يكون مكروهاً, حيث لا دليل خاص, كترك صلاة الضحى, وبه يظهر أن كون ترك المستحب راجعاً إلى خلاف الأَوْلى: لا يلزم منه أن يكون مكروهاً إلا بنهي خاص. اه

وهكذا يظهر من خلال هذه النصوص أن خلاف الأَوْلى: دون الكراهة التنزيهية إذا لم يَرِد نهيٌ خاص, كما أن الإساءة دون كراهة التحريم, وأَفْحَشَ من كراهة التنزيه([40]). وأما إذا ورد دليل خاص على النهي, كمسألتنا هذه, مسألة أخذ الشعر أو الظفر, وما ورد فيها من النهي في حديث أم سلمة, فيكون خلاف الأولى هو المكروه تنزيهاً, ولا فرق بينهما.

وفي هذا يقول الإمام الفقيه الأصولي أمير ياده شاه (ت972هـ, وقيل 987 ه) في شرحه على التحرير([41]) في أصول الفقه لابن الهمام:

ويطلق المكروه على الحرام, وعلى خلاف الأَوْلى مما لا صيغة نهي فيه ــ أي في تركه ــ , كترك الضحى, وهذا إذا فُرِّق بين التنزيهية, وخلاف الأَوْلى, وإلا: أي وإن لم يفرق بينهما: نُظِر إلى المآل, فالتنزيهية مرجعها إلى خلاف الأَوْلى, إذ حاصلها ما تركه أَوْلى, والتفرقة مجرد اصطلاح. اه

وعلى هذا, يكون الإشكال واضحاً جداً فقهياً وأصولياً في هذا القول الثاني, في تفرقته بين خلاف الأَوْلى, والكراهة التنزيهية, مع ورود حديث أم سلمة في النهي([42]).

القول الثالث

يسن ترك أخذ الشعر والظفر في عشر ذي الحجة لمن أراد أن يضحي, ويكره تنزيهاً فعل ذلك, وليس بحرام. وعليه, يكون الفرق بين هذا القول وسابقه, أن أصحاب هذا القول يقولون بالكراهة التنزيهية لمن فعله, وأما أصحاب القول الثاني فلا يقولون بالكراهة. وبهذا قال الشافعية([43]) والمالكية([44]). ونقل النووي([45]) عن الإمام مالك ثلاث روايات: الأولى توافق الحنفية: لا يكره, والثانية: يكره, والثالثة: يحرم في التطوع دون الواجب. كما روي هذا القول الثالث عن جماعة من أصحاب الإمام أحمد([46]), كالقاضي أبي يعلى الفراء, حتى قال المرداوي في الإنصاف([47]) بعد أن ذكر قول الحنابلة بتحريم الأخذ, قال:

والوجه الثاني: يكره, اختارها القاضي, وجماعة, وجزم به في الجامع الصغير, والمُذْهب, ومسبوك الذهب, والبلغة, وتذكرة ابن عبدوس, والمنوَّر, وقدّمه في الهداية, وتبصرة الوعظ لابن الجوزي, والخلاصة, والتلخيص, والمحرَّر, والرعايتين, والحاويين, وإدراك الغاية, وابن رزين, وقال: إنه أظهر. قلت ــ المرداوي ــ : وهو أَوْلى, وأطلق أحمد الكراهة، اه. وجعل ابن حزم([48]) هذا القول الثالث هو قول أصحاب رسول الله r, وروى عنهم أنهم كانوا إذا اشتروا ضحاياهم: أمسكوا عن شعورهم وأظفارهم إلى يوم النحر([49]). كما روي هذا القول أيضاً عن ابن سيرين (ت 110 ه), والأوزاعي (ت 157 ه), وأبي ثور (ت 240 ه).

القول الرابع

يحرم أخذ شيء من الشعر أو الظفر في عشر ذي الحجة لمن أراد أن يضحي, فيجب عدم الأخذ, وإلا أثم فاعله. وبهذا قال الإمام أحمد([50]), وهو المعتمد في مذهبه, وهو قول بعض أصحاب الشافعي([51]), وقول سعيد بن المسيَّب, وربيعة الرأي بن أبي عبد الرحمن فروخ (ت 136 ه), وقول إسحق بن إبراهيم بن راهُوْيَه (ت 238 ه), وداود الظاهري (ت 276 ه), وهو القول الأخير للإمام الطحاوي (ت 321 ه) من

خــلاصـة الأقــــوال

الحنفية([52]).
وهكذا فالأقول في هذه المسألة أربعةٌ على جهة التفصيل, ويمكن إجمالها في قولين, من ناحية أثر مَن أخذ الشعر أو الظفر, فالأقوال الثلاثة الأولى يمكن أن نعتبرها قولاً واحداً, ويكون هو القول الأول, وهو قول الجمهور, وأنه يجوز فعل ذلك بدون إثم, والقول الرابع هو القول الثاني, وأنه يحرم الأخذ, ويأثم فاعل ذلك, وهو قول الحنابلة.

أدلـــة القول الأول

استدل أصحاب القول الأول على إباحة أخذ الشعر والظفر في عشر ذي الحجة لمن أراد أن يضحي بما يلي: حديث عائشة رضي الله عنها, وقد ورد بروايات, وألفاظ متعددة, أسوقها فيما يلي, ثم أعقبها بوجه الدلالة منها:
1ـ عن عائشة رضي الله عنها قالت: فتَلْتُ قلائدَ بُدْن النبي r بيديَّ, ثم قلَّدها, وأشعرها([53]), وأهداها, فما حَرُم عليه شيءٌ كان أُحِلَّ له([54]).

2ـ عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان رسول الله r يُهدي من المدينة, فأفتل قلائدَ هديه, ثم لا يجتنب شيئاً مما يجتنبه المُحْرِم([55]).

3ـ عن عائشة رضي الله عنها قالت: فتلتُ قلائدَ هدي النبي r, ثم أشعـرها, وقـلَّدهـا ـ أو قــلَّدتُها ـ, ثــم بَعَثَ بها إلى البيت, وأقام بالمدينة, فما حَرُم عليه شيءٌ كان له حِلّ([56]).

4ـ عن عائشة رضي الله عنها: أنا فتلتُ قلائدَ هدي رسول الله r بيديَّ, ثم قلَّدها رسول الله r بيديه, ثم بَعَثَ بها مع أبي, فلم يَحْرُم على رسول الله r شيءٌ أحلَّه الله له حتى نُحِرَ الهدي([57]).

5ـ عن عائشة رضي الله عنها قالت: كنتُ أفتل القلائد للنبي r, فيقلِّد الغنم, ويقيم في أهله حلالاً ([58]).

6ـ وفي رواية([59]):...فيبعث بها, ثم يمكث حلالاً.

ووجه الدلالة من حديث عائشة رضي الله عنها ظاهر, ففيه صريح الدلالة على إباحة ما قد حَظَره حديث أم سلمة رضي الله عنها الآتي.

فقد أهدى النبي هدياً إلى حرم مكة وهو مقيم بالمدينة, ولم يحرِّم على نفسه شيئاً مما يَحْرُم على المُحْرِم, ولم يجتنب شيئاً من ذلك, ومنه أَخْذ الشعر والظفر, كما أخبرت بهذا زوج النبي r عائشة رضي الله عنها, وهي من أخص الناس بأمور رسول الله r وأعلمهم بها, وهي من هي في فقهها وعلمها. وقد أوضح الإمام الشافعي رحمه الله وجه الدلالة من الحديث فقال([60]):

البعث بالهدي أكثر من إرادة التضحية, فدلَّ على أنه لا يحرم ذلك. اه, وهكذا فلما أهدى رسول الله r إلى الحرم هدياً, ولم يحرِّم على نفسه شيئاً: كان غيره أولى إذا ضحى في غير الحرم ([61]). اه وقال الإمام الفقيه المالكي أبو الوليد الباجي([62]) (ت 474 ه):

وقول عائشة رضي الله عنها: (ثم بعث بها مع أبي): تريد أن النبي r فَعَلَ ذلك في سنة تسع, لتبيِّن بذلك عِلْمها بجميع القضية. ويحتمل أن تريد بذلك: أنه من آخر هدي بَعَثَ([63]) به النبي , لأن النبي حجَّ في العام الذي يلي هذه العام: حجة الوداع, لئلا يظن ظان أن هذا كان في أول الأمر, ثم نُسِخ. اه . وأما حديث أم سلمة رضي الله عنها الوارد في النهي عن أخذ الشعر والظفر, فقد ذكر أصحاب هذا القول عدة وجوهٍ لترجيح حديث عائشة عليه, وقبل إيرادها أذكر الحديث برواياته وألفاظه, ثم أعقبه بما ذكروه من وجوهٍ لتقديم حديث عائشة على حديث أم سلمة:

1ـ عن أم سلمة رضي الله عنها أن النبي r قال: (إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يضحي, فلا يمسَّ من شعره, وبَشَره شيئاً)([64]).

2ـ عن أم سلمة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله r: (إذا دخل العشر وعنده أضحية يريد أن يضحي: فلا يأخذنَّ شعراً, ولا يقلمنَّ ظفراً).

3ـ عن أم سلمة رضي الله عنها أن النبي r قال: (إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي: فليُمسك عن شعره وأظفاره).

4ـ عن أم سلمة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله r: (مَن كان له ذِبحٌ يذبحه, فـإذا أهلَّ هلال ذي الحجة: فلا يأخذنَّ من شعره, ولا من أظفاره شيئاً حتى يضحي).

ومما ذكره الحنفية في تغليب حديث عائشة رضي الله عنها على حديث أم سلمة رضي الله عنها ما يلي:

ـ روي أن الإمام الليث بن سعد (ت 175 ه) حين ذُكر له حديث أم سلمة قال: قد رُوي هذا, والناس على غيره([65]).

ـ كما روى مسلم في صحيحه([66]) عن سعيد بن المسيب, أنه حين سأله سائل عن أخذ الشعر في عشر ذي الحجة, وذكر له حديث أم سلمة في النهي عن ذلك لمن أراد أن يضحي قال له: يا ابن أخي: هذا حديث قد نُسي وتُرك. اه, وكلام سعيد هذا وإن ذكره على وجه استنكار عدم الأخذ به, لكنه كلامٌ يرشح كثيراً بأنه حديثٌ قد نُسي وتُرك, كما قال الليث بن سعد. وتَرْك العمل بالخبر: يقدح في حُكْمه وإن صحَّ سنده([67]), أو أنه غير ثابت, أو منسوخ([68]).

وذكر الطحاوي من مرجِّحات العمل بحديث عائشة رضي الله عنها على حديث أم سلمة رضي الله عنها: أن مجيء حديث عائشة رضي الله عنها أحسنُ من مجيء حديث أم سلمة رضي الله عنها, لأنه قد جاء متواتراً([69]). وحديث أم سلمة رضي الله عنها فلم يجئ كذلك, بل قد طُعن في إسناده, فقيل: إنه موقوف([70]) على أم سلمة رضي الله عنها([71]). اه

ومن مرّجحات العمل بحديث عائشة رضي الله عنها: مارواه الإمام مالك عن سعيد بن المسيَّب راوي حديث أم سلمة رضي الله عنها قال: لا بأس بالإطلاء بالنُّوْرة([72]) في عشر ذي الحجة. فتَرْك سعيدٍ لاستعمال هذا الحديث, وهو راويته: دليلٌ على أنه عنده غير ثابت, أو منسوخ([73]).

كما دعم أصحاب القول الأول استدلالهم بحديث عائشة رضي الله عنها بالقياس كشاهد مقوٍّ, فقالوا: إن مَن دخلت عليه أيام عشر ذي الحجة وهو يريد أن يضحي: لا يمنعه ذلك من الجماع, فلما كان ذلك لا يمنعه من الجماع, وهو أغلظ ما يَحرم بالإحرام: كان أحرى أن لا يمنع مما دون ذلك, وهو أخذ الشعر والظفر([74]). وعبَّر عن هذا القياس الإمام ابن عبد البر بقوله: وقد أجمع العلماء على أن الجماع مباح في أيام العشر لمن أراد أن يضحي, فما دونه أحرى أن يكون مباحاً([75]).

وأصل الاستدلال بهذا القياس ــ والله أعلم ــ ما رواه النسائي في سننه([76]) أنه ذُكر للإمام التابعي عِكْرمة مولى ابن عباس رضي الله عنهما (ت 104 ه) ذُكر له حديث أم سلمة رضي الله عنها في النهي عن أخذ الشعر والظفر فقال: ألا يعتزل النساء والطيب. اه يريد الاعتراض عليه وردَّه.



أدلة القول الثاني والثالث

استدل أصحاب القول الثاني والثالث على استحباب عدم أخذ الشعر أو الظفر بحديث أم سلمة رضي الله عنها, ولم يحملوا النهي فيه على التحريم, بل على خلاف الأَوْلى عند أصحاب القول الثاني, وعلى الكراهة التنزيهية عند أصحاب القول الثالث, والصارف القوي عن التحريم هو حديث عائشة رضي الله عنها, فهو صريح الدلالة على إباحة ما قد حَظَره حديث أم سلمة, وذلك جمعاً بين الحديثين.
ومما ذكروه من صوارف النهي الوارد في حديث أم سلمة من التحريم إلى الكراهة التنزيهية: ما ذكره العلامة الشَّبْرامَلِّسي الشافعي في حاشيته على نهاية المحتاج([77]) فقال: إن الصارف في حديث أم سلمة هو كون الحكمة في طلبه r هو مجرد إرادة المغفرة.

ويرى الإمام الخطابي (ت 388 ه) أن من صوارف وجوب ترك أخذ الشعر والظفر في حديث أم سلمة, إلى استحباب ذلك ما قاله: وأجمعوا أنه لا يحرم عليه اللباس والطيب, كما يحرمان على المحرم, فدلَّ ذلك أنه على سبيل الندب والاستحباب, دون الحتم والإيجاب([78]).

ويقول الإمام الفقيه المالكي الحطاب (ت 954 ه): وحديث أم سلمة رضي الله عنها فيه نهي, والنهي إذا لم يقتض التحريم, حُمل على الكراهة([79]).

ولهذا كله كان الإمام الشافعي إمام المذهب رحمه الله يرى أن أمر رسول الله r في حديث أم سلمة رضي الله عنها أَمْر اختيار([80]). ومما ذكروه من الشواهد لحمل حديث أم سلمة على الندب, ما ذكره صاحب إعلاء السنن([81]) العلامة الشيخ ظفر أحمد العثماني (ت 1394 ه), حيث أورد أولاً حديث المَنِيْحة, وهو: عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما أن النبي r قال: (أُمرت بيوم الأضحى: عيدٌ جعله الله عزَّ وجل لهذه الأمة). قال الرجل: أرأيتَ إن لم أجد إلا مَنِيْحَة ابني([82]) ـ (وفي نُسَخٍ: منيحة أنثى) ـ أفأضحي بها؟ قال: (لا, ولكن تأخذ من شعرك, وأظافرك, وتقصُّ شاربك, وتحلق عانتك, فتلك تمام أضحيتك عند الله عز وجل)([83]).

ثم قال صاحب إعلاء السنن: أجمع العلماء على أن من لم يكن معه ما يضحي به: لا يجب عليه الكف عن شعره وظفره, كما أجمعوا على أن من ليس معه أضحية: لا يجب عليه أن يأخذ من شعره يوم الأضحى, وحملوا حديث المنيحة هذا على الندب, قال: فكذا حديث أم سلمة رضي الله عنها يُحمل على الندب, ومَن ادعى الفرق فعليه البيان([84]).

أدلة القول الرابع القائل بتحريم أخذ الشعر والظـفر

احتج القائلون بتحريم أخذ الشعر والظفر في عشر ذي الحجة لمن أراد أن يضحي بحديث أم سلمة رضي الله عنها المتقدم, وهو العمدة في هذه المسألة عندهم, والنهي فيه ظاهر. وقدَّموه على حديث عائشة رضي الله عنها المبيح للأخذ لعدة وجوه:

1ـ إن حديث عائشة رضي الله عنها عام, وحديث أم سلمة رضي الله عنها خاص, فيجب تقديمه بتنزيل العام على ما لم يتناوله الحديث الخاص.

2ـ وأيضاً فإن عائشة رضي الله عنها تخبر عن فعله r, وأم سلمة رضي الله عنها تخبر عن قوله r, والقول يُقدَّم على الفعل, لاحتمال أن يكون فعله خاصاً به.

3ـ ولأن عائشة رضي الله عنها تعلم ظاهراً ما يباشرها به r من المباشرة, أو ما يفعله r دائماً, كاللباس والطيب, فأما ما يفعله نادراً, كقص الشعر, وقَلْم الأظافر مما لا يفعله في الأيام إلا مرة, فالظاهر أنها لم تُرِدْه بخبرها. وإن احتمل إرادتَها إياه: فهو احتمالٌ بعيد, وما كان هكذا: فاحتمال تخصيصه قريب, فيكفي فيه أدنى دليل, وخبرُنا دليلٌ قوي, فكان أولى بالتخصيص([85]).

4ـ كما حملوا حديث عائشة رضي الله عنها على أمر خاص, وهو مَن بَعَثَ بهديه, وأقام في أهله: فلا يكون مُحْرماً, ولا يحرم عليه, وقالوا: إن حديث عائشة رضي الله عنها ردٌّ على من يقول بأنه يكون بذلك الإرسال مُحْرماً. ولهذا عمل الإمام أحمد ـ وهو القائل بالتحريم ـ بالجمع بين الحديثين, هذا في موضعه, وهذا في موضعه, كما أجابه عن ذلك الإمام يحيى بن سعيد القطان (ت 198 ه).. فقد ذكر الإمام ابن عبد البر([86]) عن الأثرم قال: قال الإمام أحمد: ذكرتُ لعبد الرحمن بن مهدي (ت 198 ه) حديث عائشة, وحديث أم سلمة: فبقي عبد الرحمن, ولم يأت بجواب. فذكرتُه ليحيى بن سعيد, فقال يحيى: ذاك له وجه, وهذا له وجه, حديث عائشة إذا بعث بالهدي وأقام, وحديث أم سلمة إذا أراد أن يضحي بالنحر. قال أحمد: وهكذا أقول. اه

5ـ وقالوا أيضاً: خبر أم سلمة صريحٌ في النهي, فلا يجوز تعطيله أيضاً, فأم سلمة تخبر عن قوله وشَرْعه لأمته, فيجب امتثاله, وعائشة تخبر عن نفيٍ مستنِد إلى رؤيتها, وهي إنما رأت أنه لا يَصير بذلك مُحْرِماً, يَحرم عليه ما يَحرم على المُحْرِم, ولم تخبر عن قوله: إنه لا يَحْرُم على أحدكم بذلك شيء, وهذا لا يعارض صريح لفظه([87]).

6ـ ومما ذكروه أيضاً: أنه يجب حمل حديث عائشة رضي الله عنها على غير محل النزاع, وذلك لأن النبي r لم يكن ليفعل ما نهى عنه وإن كان مكروهاً, قال الله تعالى إخباراً عن شعيب عليه السلام: ژ ? ? ? ? ? ? ? ? ژ (هود: ??). ولأن أقلَّ أحوال النهي أن يكون مكروهاً, ولم يكن النبي r ليفعله, فينبغي حَمْل ما فعله في حديث عائشة على غير محل النزاع([88]).

7ـ أما الإمام الطحاوي الذي وافق في قوله الأخير قولَ الحنابلة في منع أخذ الشعر والظفر, فقد جمع بين حديث عائشة, وحديث أم سلمة, ووفّق بينهما بذكر رواية لحديث عائشة رضي الله عنها ساقها بسنده, وجعلها عمدته في الجمع, وهي: لا يجتنب شيئاً مما يجتنبه المحرم من أهله حتى يرجع الناس. قال: فكان في هذ الحديث القصد الذي كان رسول الله r لا يجتنبه, وهو ما كان يجتنبه من أهله مما يجب على المحرم اجتنابه من أهله في إحرامه, لا ما سواه من حلق شعره, ولا من قص أظفاره, وذلك لا يمنع في حديث أم سلمة رضي الله عنها. ويكون تصحيح حديث أم سلمة مع حديث عائشة: أن يكون حديث أم سلمة على منع من أراد أن يضحي وله ما يضحي عن حلق شعره, وقص أظفاره في أيام العشر حتى يضحي.

وحديث عائشة على الإطلاق لما سوى قص الأظافر, وحلق الشعر له في تلك الأيام, وأنه فيها بخلاف ما المحرم عليه في إحرامه في تلك الأشياء كلها. وبهذا تتفق هذه الآثار, ولا يضاد بعضها بعضاً([89]). اه

ومما استدل به القائلون بتحريم الأخذ: ما رواه سعيد بن المسيب أن أصحاب رسول الله r كانوا إذا اشترى أحدهم أضحية ودخل العشر من ذي الحجة: كان يكف عن أخذ شعره وظفره حتى يضحي([90]).

منـــاقشــة أدلـة القول الأول القائل بـالإبــاحـــة

1ـ نوقش استدلال أصحاب القول الأول بأثر سعيد بن المسيب بإباحته الإطلاء بالنُّورة في العشر, بأنه صحَّ عنه النهي عن ذلك.

فقد روى مسلم([91]) عن عمرو بن مسلم بن عمار الليثي قال: كنَّا في الحمَّام قُبَيْل الأضحى, فاطَّلى فيه ناسٌ([92]), فقال بعض أهل الحمَّام: إن سعيد بن المسيب يكره هذا, أو ينهى عنه. فلقيتُ سعيدَ بن المسيب, فذكرتُ ذلك له, فقال: يا ابن أخي ! هذا حديثٌ قد نُسي وتُرك. حدثتني أمُّ سلمة زوجُ النبي r قالت: قال رسول الله r. بمعنى حديث معاذٍ عن محمد بن عمرو... (من كان له ذِبحٌ يذبحه, فإذا أهلَّ هلال ذي الحجة: فلا يأخذنَّ من شعره, ولا من أظفاره شيئاً حتى يضحي). اه الحديث.

وقال ابن حزم([93]): لا حجة في قول سعيد, وإنما الحجة في الكتاب والسنة, وصحَّ عن سعيد خلاف ذلك, وقد يَتأول سعيد في الإطلاء أنه بخلاف حكم سائر الشعر, وأن النهي إنما هو لشعر الرأس فقط.

وقد يكون المراد بقول سعيد في الإطلاء في العشر: أي عشر المُحَرَّم, لا عشر ذي الحجة, وإلا فمن أين لكم أنه أراد عشر ذي الحجة, واسم العشر يطلق على عشر المُحَرَّم, كما يطلق على عشر ذي الحجة. ولعل سعيداً رأى ذلك لمن لا يريد أن يضحي, فهذا صحيح. اه،وأما غير ابن حزم, فقد اقتصر في مناقشة أثر سعيد بن المسيب بقوله: لعله أفتى بذلك لمن لا يريد أن يضحي, وأنه يُحمل على ذلك([94]).

2ـ نوقش استدلال أصحاب القول الأول بقول عكرمة مولى ابن عباس رضي الله عنهما في القياس, بما ذكره ابن حزم: هذا قياس فاسد, لأن الصائم فُرض عليه اجتناب النساء بالنص, ولا يلزمه اجتناب الطيب, ولا مسُّ الشعر والظفر, وهذا الذي أراد أن يضحي: مُنع من أخذ الشعر والظفر فقط, فلا يقاس عليهما شيء آخر([95]). اه، وناقشه ابنُ القيم بأنه قياس مصادمٌ للنص([96]).



منـــاقشـة أدلة القول الرابع القائل بـالتـحـريـم

1 ـ نوقش استدلال أصحاب القول الرابع بفعل الصحابة رضي الله عنهم, وتَرْكهم للأخذ في العشر, نوقش بأن هذا يُحمل على الندب, لا على الوجوب, كما حُمِل حديث أم سلمة, وليس في نصهم ما يدل على أنهم كانوا يتركون الأخذ وجوباً([97]).
2ـ نوقش قول الإمام ابن قدامة رحمه الله بأن عائشة رضي الله عنها كانت تعلم ظاهراً ما يباشرها به r إلى آخر كلامه, بما يلي:

إن ترك قص الشعر, وقلم الظفر في العشر مما لا يخفى على الأجانب, فضلاً عن أهل البيت, لما يحدث في شعر الوجه والشارب والأظفار من الطول الظاهر, فلا نسلم أنها لم تُرِدْه بخبرها, أو أن إرادتها إياه احتمال بعيد, وإنما البعيد عدم إرادتها إياه؛ لما قلنا([98]).

3ـ نوقش قول ابن قدامة رحمه الله: (إن حديث عائشة رضي الله عنها عام, وحديث أم سلمة رضي الله عنها خاص, فيجب تقديمه), بما يلي:

إن هذا هو عين النزاع, فإن العامَّ المتَّفق عليه بالقبول, مقدَّم على الخاص المختلَف في قبوله, لا سيما وحديث عائشة متواتر, وحديث أم سلمة من أخبار الآحاد, وقد اختلف الرواة في رفعه ووقفه, وقال الليث: جاء هذ الحديث والناس على خلافه([99]).

4ـ نوقش قول ابن قدامة رحمه الله: (هذا له وجه, وذاك له وجه, حديث عائشة: إذا بعث بالهدي وأقام, وحديث أم سلمة: إذا أراد أن يضحي بالمصر), بما يلي: إن رسول الله r كان يريد التضحية مع بعثه بالهدي, لأنه لم يترك التضحية أصلاً, ومع ذلك لم يجتنب شيئاً, على ما في حديث عائشة, فدلَّ على أن إرادة التضحية لا تحرِّم ذلك([100]). اه, وهذه لفتةٌ مهمة جداً في محل النزاع.

5ـ نوقش كلام ابن حزم رحمه الله في أثر سعيد بن المسيب, وما ذكره من احتمالات, وأنه لا حجة في قوله.. إلى آخر كلامه, وأن القياس باطل, بما يلي:

إن سعيد بن المسيب هو أعرف بمعنى حديث رسول الله r, ولم يكن التابعون ليتركوا شيئاً صحَّ عن رسول الله r عندهم بآرائهم, فثبت أن حديث أم سلمة لم يكن عند راويه على الوجوب, وكذا عند عكرمة مولى ابن عباس رضي الله عنهما([101]). وما ذكروه عن سعيد بن المسيب فيما رواه عنه مسلم: أنه كان يكره أو ينهى عن أخذ الشعر..., فيُجاب عن هذا من باب المقابلة, بما أجابوا به هم عما روي عنه من إجازته ذلك, بأنه لا حجة في قوله. وأيضاً فما رووه عنه من مَنْعِه: معارَضٌ بما روي عنه من الإباحة, فتتساقط الروايتان.

6ـ نوقش قول ابن حزم رحمه الله بأنه يُحمل جواز الإطلاء عند سعيد بن المسيب على شعر الرأس, بما يلي: إن حديث مسلم يردُّ هذا الاحتمال, ففيه: (فلا يمس من شعره وبَشَره), وهو يعمُّ شعر البدن كله, فيَبْعد عن سعيد أن يتأوَّل في الإطلاء: أنه بخلاف حكم سائر الشعر([102]).

7ـ نــوقـش قــول ابن حزم رحمه الله بأن المراد من أثر سعيد: عَشْر المُحرَّم بما يلي: إن هذا أضعف من نسج العنكبوت, فهل كان أحدٌ يتوقف عن مسّ الشعر في غير عشر ذي الحجة, ومن أين لابن حزم أن يحمله على عَشْر المُحرَّم, أو عَشْر رمضان تحكّماً من غير دليل([103]).

ولذا قال الإمام المُنَاوي في فيض القدير([104]) عند شرحه لحديث أم سلمة رضي الله عنها: (إذا دخل العشر): أي عشر ذي الحجة, واللام للعهد, كأنه لا عشر إلا هو. اه

8 ـ نوقش قول ابن قدامة رحمه الله بأن عائشة تخبر عن فعله r, وأم سلمة عن قوله r, والقول يقدّم على الفعل, لاحتمال أن يكون فعله خاصاً به بما يلي:

إن مسألة الراجح في تعارض القول والفعل مسألة اجتهادية ظنية طويلة الذيل, قد اختلف فيها علماء أصول الفقه, ولهم كلام طويل في أيهما يقدم, ولكلٍّ وجهةٍ هو موليها, وبخاصة أن حديث عائشة رضي الله عنها متأخر جداً, حيث كان في آخر السنة التاسعة حين حج بالناس أبو بكر الصديق t, في حين أن مشروعية الأضحية كانت في السنة الثانية, وحديث أم سلمة يتصل ويتعلق بالأضحية, مما يجعل الاحتمال كبيراً لتأخر حديث عائشة عن حديث أم سلمة رضي الله عنهما, وهذا يقوِّي الأخذ بما ظاهره التأخر.

9ـ نوقش ما ذكروه من أن حديث أم سلمة رضي الله عنها فيه نهي, وحديث عائشة رضي الله عنها فيه نفي, فلا يعارض صريح النهي بما يلي:

إن حديث عائشة رضي الله عنها يتضمن ردّ النهي الوارد في حديث أم سلمة, وذلك بما تحكيه عن حال النبي r في أواخر عهده r في آخر السنة التاسعة, وهي رضي الله عنها من أعلم الناس بأحوال النبي r.



تـعـقـيب وبـــيـــان

وهكذا بعد هذا العرض الطويل لخلاف الفقهاء في هذه المسألة, وبيان أدلتهم, وبسط وجهات أنظارهم في الجمع بين الأدلة المتعارضة ظاهراً, وما ذُكر حول ذلك من مناقشات وأَخْذٍ وردّ. بعد هذا يقف الناظر الفاحص المدقِّق أمام ذلك كله, فيرى نفسه أمام مسألة فقهية خلافية, قد قويَ الخلاف فيها, وتجاذبت دلالات الأدلة الأقوالَ فيها, وهي كلها دلالات ظنية وليست بقطعية, لكنه يراها نحو القول القائل بالإباحة تميل بوضوح. كما يرى أن أكثر أهل العلم, ومعهم فريق كبير من أئمة الحنابلة ممن لم يقل بالقول المعتمد في مذهبهم بالمنع, قد ذهبوا إلى القول بجواز الأخذ جملة, مع تفصيلٍ لطيف في حق من فَعَلَ وأخذ من شعره وظفره, هل يعتبر مخالفاً للأَوْلى, أو أنه مرتكب لمكروه كراهة تنزيه بدون إثم. وفي مقابل قول هذا الجمع الغفير القائل بعدم التحريم, نجد أن الحنابلة في المعتمد عندهم انفردوا بالقول بالتحريم. وهكذا فإن هذه الدراسة لن تحسم الخلاف في المسألة, وسيبقى الخلاف قائماً إلى ما شاء الله, وفي الوقت نفسه ليس لأحد أن يحرِّج على مَن أخذ بقول المُبيحين, أو قول القائلين بالكراهة, ولا لأحدٍ أن يحرِّج على مَن أخذ بالمنع والتحريم, والكلُّ متفقون على استحباب عدم الأخذ إما نصاً, أو مراعاةً للخلاف, ولا شك أن هذا هو الأحوط. وأما التشديد على الناس في هذه المسألة, والتأكيد على تحريم الأخذ, وجَعْل الناس آثمين فاسقين إن أخذوا من شعورهم أو أظفارهم, ففي ذلك إيقاع لهم في حرج شديد, وبخاصة أن جمهور العلماء يقولون بعدم التحريم, وجواز الأخذ بدون إثم.
وأيضاً فإن هذا التشديد, وعدم التوسعة على الناس, كانت ضحيته أن أدى بالكثير إلى ترك التضحية, وتضييع هذه الشعيرة العظيمة من شعائر الإسلام, وتَرْك هذا الخير الكبير, والفضل العميم, وذلك من أجل أن يأخذوا من شعورهم وأظفارهم في عشر ذي الحجة, حيث إن الناس في آخر عشر ذي الحجة يقدم عليهم عيدٌ عظيمٌ من أعياد المسلمين, وهو عيد الأضحى, وغالب الناس إن لم يكن كلهم رجالاً ونساءً يتأهبون للتزين له قبل مجيئه بأيام ــ أي قبيل زمن التضحية ـــ بأخذ شعورهم وأظافرهم, والاعتناء بها بصورٍ مختلفة.

وهكذا دين الله واسع, ورفع الضيق والحرج عن الناس مطلب عظيم, ومقصد مهم كبير من مقاصد الشريعة الإسلامية, والله الموفق.



بعض الفروع والمسائل الفقهية المتعلقة بمسألة حكم أخذ الشعر أو الظفر

الحكـمة من ترك أخذ الشـــــعـــر والظــــفـــر


1ـ بيّن كثير من الفقهاء حكمة نهي النبي r عن أخذ الشعر والظفر, فقالوا: الحكمة أن يبقى المضحِّي كامل الأجزاء, فيُبقي شعرَه وظفره؛ لتشمل المغفرة والعتق من النار جميــعَ أجـــــزاء المضحي, فإنــــه يُغفــــر له بـــأول قطــرة من دم الأضحية([105]). وكان اعتمادهم في بيان هذه الحكمة على بعض الأحاديث الواردة في فضل الأضحية, منها: ماروي عن رسول الله r أنه قال: (إن الله يعتق بكل عضو من الأضحية عضواً من المضحِّي). اه

والشعر والظفر أجزاء من المضحي, فتُترك حتى تدخل في هذا العتق.

لكن في ثبوت هذا الحديث كلام, فقد قال الحافظ ابن حجر([106]) حين أورد الرافعيُّ هذا الحديث في العزيز شرح الوجيز قال: لم أره هكذا, وقال ابن الصلاح: هذا حديث غير معروف, ولم نجد له سنداً يثبت به. اه

ومـن الأحــاديث التي اعتُمدت في بيان الحكمة, ما تقدم ذكره في أول البحث([107]) في فضل الأضحية عن علي t عن النبي r قال: (يا فاطمة قومي فاشهـدي أضحيتك, فإن لك بـأول قطـرة مغفرة لـكـل ذنب). وهو حديث حسّنه بعضهم, وقال عنه الدمياطي: لا بأس بإسناده. ووجه الدلالة واضح, حيث إن المضحي يترك أجزاءَه إلى يوم الأضحية؛ لتشملها المغفرة الحاصلة للمضحي.

وذكر بعض الفقهاء حكمة أخرى, لكنهم ضعّفوها, وهي أن المضحي يَترك ذلك ليتشبه بالمُحْرم, فقد قال الإمام النووي([108]) رحمه الله بعد إيرادها: قال أصحابنا: هذا غلط, لأنه لا يعتزل النساء, ولا يترك الطيب واللباس, وغير ذلك مما يتركه المُحْرم. اه

2ـ الأيام التي يُترك فيها أخذ الشعر والظفر لمن أراد التضحية: ورد في بعض روايات حديث أم سلمة رضي الله عنها عدة ألفاظ تحدد هذه الأيام, منها: إذا دخلت العشر, و: إذا رأيتم هلال ذي الحجة, و: إذا أهلَّ هلال ذي الحجة...حتى يضحي. ويستفاد من هذه الروايات أن الأيام التي يُترك فيها أخذ الشعر والظفر لمن أراد أن يضحي تبدأ من أول عشر ذي الحجة, أي إذا هلَّ هلال ذي الحجة, وتستمر إلى أن يضحي. والتعبير بالعشر: باعتبار الليالي, أو من استعمال الكلِّ في الجزء, إذ المراد: تسعٌ فقط لمن أراد التضحية في اليوم الأول من أيام العيد, وأما من ضحى في اليوم الثاني: فالعشر على حقيقته([109]). وأما من أراد التضحية في اليوم الثالث أو الرابع, فإنه يستمر على ترك أخذ الشعر والظفر حتى يضحي.

3ـ ما يشمله النهي عن أخذ الشعر والظفر: إن نهي النبي r عن أخذ الشعر والظفر, يشمل شعر الرأس, واللحية, والشارب, والإبط, والعانة,و غير ذلك من شعور البدن([110]), ويشمل أظافر اليد والرِّجْل, وسائر أجزاء البدن, كنحو جلدة لا يضر قطعها, ولا حاجة له فيها. وذلك لعموم قوله r: (من شعره, وظفره), وفي رواية مسلم: (فلا يمسَّ من شعره وبَشَره شيئاً).

ويشمل الأخذ بأي طريقة كانت, سواء كان أخذ الظفر بقَلْمٍ, أو كسر, أو غير ذلك, وسواء كانت إزالة الشعر بحلقٍ, أو تقصيرٍ, أو نتفٍ, أو إحراق, أو أخذه بنُوْرة, أو غير ذلك.

4ـ ما يستثنى ويجوز أخذه من الشعر والظفر والبشرة في عشر ذي الحجة لمن أراد أن يضحي: ذكر الإمام الفقيه الشافعي ابن حجر الهيتمي المكي([111]) ما يجوز أخذه, ويستثنى من النهي الوارد عن أخذ الشعر والظفر في حالات خاصة, فقال: قد يجب الأخذ, لقطع يد سارق, وختان بالغ, وقد يستحب, كختان صبي, وقد يباح, كقطع سن وَجِعَة.

وقد بيَّن رحمه الله أن الدم يجوز أخذه, لأنه لا يعتبر من الأجزاء الظاهرة.

5ـ ما تشمله عبارة: لمــن أراد أن يضحي: قــال الإمام الزركشي الشافعي (ت 794 ه): ويدخل في مريد الأضحية: مَن أراد أن يهدي شيئاً من النَّعَم إلى البيت الحرام, بل أَوْلى([112]). اه

وأما مَن يُضحَّى عنه من أهل البيت وإن كانت تقع عنه, فهل تشمله عبارة: لمن أراد أن يضحي ؟. الذي وقفت عليه في هذا: نصٌّ للعلامة العبادي, وللعلامة الشرواني في حاشيتهما على تحفة المحتاج لابن حجر الهيتمي([113]), حيث قالا: يَخرج ما عدا مريدُها من أهل البيت وإن وقعت عنهم. اه, أي كما لو ضحَّى عن نفسه, وعن والديه الفقيرين مثلاً, فيُستثنى كلٌّ من الوالدين من حكم هذه المسألة, ولا يدخلان في منع الأخذ.

وأما الحنابلة([114]) فقالوا: يَحرم الأخذ على من يضحي, وعلى من يُضحَّى عنه. اه

6ـ لا جزاء ولا فدية على مَن أَخَذَ من شعره أو ظفره إلا التوبة: نصَّ الحنابلة([115]) القائلون بتحريم الأخذ, أنه لو أخذ الإنسان من شعره أو ظفره, وارتكب هذا المحظور, فإنه لا جزاء عليه ولا فدية, وليس عليه إلا التوبة, سواء فَعَلَ ذلك عمداً, أو سهواً.

7ـ لا فرق في حكم أخذ الشعر أو الظفر بين الرجل والمرأة: الأصل في الأحكام الشرعية اشتراك الرجل والمرأة فيهما, إلا ما خصَّه الدليل على التفرقة بينهما, وعليه فإن حكم أخذ الشعر والظفر يشمل الرجل والمرأة, وإن كنتُ لم أر مَن نصَّ على ذلك في هذه المسألة, وكأن المسألة لا تحتاج إلى نص وتنبيه, إذ الأصل عدم التفرقة بينهما, والله أعلم.

الخـاتـمــة

خــلاصة أقــوال الفقهاء في المســألــة يمـكـــن جعـلـهــا في قولين:
الأول منهما يقول بالجواز بدون إثم على وجه الإجمال, أما على وجه البيان والتفصيل, فذهب الحنفية إلى إباحة أخذ الشعر والظفر في عشر ذي الحجة لمن أراد أن يضحي, والإباحة تعني التخيير بين الأخذ والترك, وذهب فريق من الحنفية إلى القول باستحباب عدم الأخذ, لكن مَن فَعَلَ ذلك وأخذ, فقد خالف الأَوْلى, وأما عند المالكية والشافعية, فلا يحرم الأخذ, لكن يكره تنزيهاً كراهةً لا إثم فيها, وبهذا قال فريق من الحنابلة. وكان عمدتهم حديث عائشة رضي الله عنها, مع التذكير بأنه r لم يترك الأضحية, وحملوا حديث أم سلمة رضي الله عنها على الندب والاستحباب.

وأما القول الثاني: فيقول بتحريم أخذ الشعر والظفر في عشر ذي الحجة لمن أراد أن يضحي, وبهذا قال الحنابلة في المعتمد عندهم. وكان حديث أم سلمة رضي الله عنها هو عمدتهم في الاستدلال, وحملوا النهي فيه على التحريم, وقدّموه على حديث عائشة رضي الله عنها.



فهرس المصادر

1ـ الإشراف على نكت مسائل الخلاف، للقاضي عبد الوهاب بن علي البغدادي المالكي، ت 422 ه، تحقيق الحبيب بن طاهر، دار ابن حزم، بيروت، ط1/ 1420.

2ـ إعلاء السنن, ظفر أحمد العثماني التهانوي, ت 1394 ه, إدارة القرآن والعلوم الإسلامية, كراتشي, المكتبة الإمدادية, مكة المكرمة.

3ـ إكمال المعلم بفوائد مسلم, للقاضي عياض بن موسى اليحصبي, ت 544 ه, تحقيق د/يحيى إسماعيل, دار الوفاء, المنصورة, مصر + مكتبة الرشد, الرياض, ط1/1419 ه.

4ـ الإنصاف في معرفة الراجح من الخلاف، للمرداوي علي بن سليمان، ت 885 ه، بعناية محمد حامد الفقي، دار إحياء التراث العربي، بيروت، ط2/ 1400.

5ـ بدائع الصنائع في ترتيـب الشرائع، (شرح تحفة الفقهاء للسمرقندي)، للكاسانـي أبي بكر ابن مسعود، ت 587 ه، صورة عن ط1/ سبع مجلدات.

6ـ بذل المجهود في حل أبي داود, خليل أحمد السهارنفوري, ت 1346 ه, دار اللواء , الرياض.

7ـ بُلغة السالك لأقرب المسالك (حاشية الصاوي) على الشرح الصغير للدردير, أحمد بن محمد الصاوي, ت 1241ه, دار المعرفة, بيروت, ص/1409.

8ـ البناية في شرح الهداية، للعيني محمد بن أحمد، ت855ه، دار الفكر، بيروت، ط2/ 1411.

9ـ البيان شرح المهذب, للعمراني يحيى بن سالم, ت 558 ه, تحقيق قاسم محمد النوري, دار المنهاج, جدة, ط1/1425.

10ـ تاج العروس من جواهر القاموس, للزبيدي محمد بن محمد, ت 1205 ه, المطبعة الخيرية, القاهرة, ط1/1306 + طبعة الكويت.

11ـ التاج والإكليل لمختصر خليل، للمواق محمد بن يوسف، ت 897 ه، مطبوع بحاشية مواهب الجليل للحطاب.

12ـ تبيين الحقائق شرح كنز الدقائق, للزيلعي عثمان بن علي, ت 743 ه, دار المعرفة, بيروت.

13ـ التجريد للقدوري أحمد بن محمد, ت 428 ه, تحقيق د/محمد أحمد سراج, دار السلام, القاهرة, ط1/1425.

14ـ تحفة المحتاج بشرح المنهاج، لابن حجر الهيتمي أحمد بن محمد، ت 974 ه، دار صادر، بيروت.

15ـ الترغيب والترهيب, أبو القاسم الأصبهاني إسماعيل بن محمد, ت 535 ه, تحقيق محمد السعيد بسيوني زغلول.

16ـ الترغيب والترهيب, للمنذري عبد العظيم بن عبد القوي, ت 656 ه, تحقيق مصطفى محمد عمارة, دار الفكر, 1401 ه.

17ـ التقرير والتحبير شرح التحرير في أصول الفقه (لابن الهمام), لابن أمير حاج محمد بن محمد, ت 879 هـ, صورة عن الطبعة الأميرية ببولاق سنة 1316, تصوير دار الكتب العلمية, بيروت.

18ـ التلخيص الحبير في تخريج أحاديث الرافعي الكبير، لابن حجر العسقلاني أحمد بن علي، ت 852 ه، تصحيح: عبدالله هاشم اليماني، ط/1384.

19ـ التمهيد لما في الموطأ من المعاني والأسانيد، لابن عبد البر يوسف بن عبدالله النمري، ت463 ه، تحقيق: سعيد أحمد أعراب، طبع في المغرب، ط/1387.

20ـ تهذيب سنن أبي داود, للمنذري عبد العظيم بن عبد القوي, ت 656 ه = معالم السنن.

21ـ تهذيب المستدرك، للذهبي محمد بن أحمد، ت748 ه، مع المستدرك للحاكم.

22ـ تيسير التحرير في أصول الفقه (لابن الهمام), لأمير باد شاه محمد أمين بن محمود, ت 972 هـ وقيل 987 هـ, مطبعة البابي الحلبي, سنة 1350 هـ.

23ـ جواهر الإكليل شرح مختصر خليل، للآبي صالح عبد السميع، توفي في النصف الأول من القرن الرابع عشر الهجري، دار المعرفة، بيروت.

24ـ الجواهر المضية في طبقات الحنفية, للقرشي عبد القادر بن محمد, ت 775 ه, تحقيق د/عبد الفتاح محمد الحلو, مؤسسة الرسالة, بيروت, ط2/1413.

25ـ الجوهر النقي في الردّ على البيهقي، لابن التركمانـي علاء الدين علي بن عثمان الماردينـي، ت 745 ه، مطبوع مع السنن الكبرى للبيهقي.

26ـ حاشية ابن عابدين (رد المحتار على الدر المختار), لا بن عابدين محمد أمين بن عمر, ت 1252 ه, تحقيق مجموعة بإشراف د/حسام الدين فرفور, دار الثقافة والتراث, دمشق, ط1/1421 ه + طبعة بولاق + طبعة البابي الحلبي.

27ـ حاشية السندي على سنن النسائي, أبو الحسن السندي الكبير نور الدين بن عبد الهادي, ت 1138 ه = سنن النسائي.

28ـ حاشية الشَّبْرامَلِّسي على نهاية المحتاج, علي بن علي, ت 1087 ه = نهاية المحتاج.

29ـ حاشية الشرواني على تحفة المحتاج, عبد الحميد الداغستاني الشرواني, ت 1301 ه = تحفة المحتاج.

30ـ الحاوي الكبير, للماوردي علي بن محمد ت 450 ه, تحقيق علي محمد عوض, وعادل عبد الموجود, دار الكتب العلمية, بيروت, ط1/1414.

31ـ رحمةالأمةفي اختلاف الأمة,محمد بن عبد الرحمن الدمشقي العثماني(القرن الثامن الهجري), دولة قطر,1401 ه.

32ـ الروض المربع شرح زاد المستقنع، للبهوتي منصور بن يونس، ت1051، دار الكتب العلمية، بيروت، ط9/ 1408.

33ـ سنن ابن ماجه، محمد بن يزيد القزوينـي، ت 275 ه، تحقيق محمد فؤاد عبدالباقي.

34ـ سنن أبي داود، سليمان بن الأشعث السجستانـي، ت275ه، إشراف عزت دعاس وعادل السيد، دار الحديث، بيروت، وطبعة أخرى بتحقيق محمد عوامة، دار القبلة، جدة، ط1/ 1419هـ.

35ـ سنن البيهقي (السنن الكبرى)، أحمد بن الحسين، ت 458ه، صورة عن طبعة حيدر آباد، ط1/ 1344، توزيع دار الباز، مكة المكرمة.

36ـ سنن الترمذي، محمد بن عيسى، ت279ه، تحقيق أحمد محمد شاكر، دار إحياء التراث الإسلامي، بيروت.

37ـ سنن النسائي (الصغرى) (مع شرح السيوطي عليها، وحاشية السندي والفهارس)، أحمد بن شعيب، ت303، باعتناء عبد الفتاح أبو غدة، دار البشائر الإسلامية، بيروت، ط1/ 1406.

38ـ شجرة النور الزكية في طبقات المالكية, محمد بن محمد مخلوف, ت 1360 ه, دار الكتاب العربي, بيروت.

39ـ شرح تهذيب سنن أبي داود, لابن قيم الجوزية محمد بن أبي بكر, ت 751 ه = معالم السنن.

40ـ شرح الخَرَشي على مختصر خليل، محمد بن عبد الله الخَرَشي، ت1101 ه، دار صادر، بيروت.

41ـ شرح الزرقاني على الموطأ (أبهج المسالك شرح موطأ مالك) للزرقاني محمد بن عبد الباقي, ت 1122 ه, مكتبة الكليات الأزهرية, القاهرة, 1399ه.

42ـ شرح صحيح مسلم (المنهاج بشرح صحيح مسلم بن الحجاج)، للنووي يحيى بن شرف الدين، ت 676 ه، المطبعة المصرية.

43ـ الشرح الكبير على مختصر خليل، للدردير أحمد بن محمد، ت1201 ه، دار الفكر، بيروت.

44ـ شرح المحلي على منهاج الطالبين (كنز الراغبين) للمحلي جلال الدين محمد بن أحمد ت 864 ه, مطبعة عيسى البابي الحلبي, القاهرة.

45ـ شرح معاني الآثار المختلفة المروية عن رسول الله r في الأحكام، للطحاوي أحمد بن محمد، ت321 ه، إشراف: محمد زهري النجار، دار الكتب العلمية، بيروت، ط1/1399.

46ـ شرح منتهى الإرادات، للبهوتي منصور بن يونس، ت1051 ه، عالم الكتب، بيروت.

47ـ صحيح مسلم، مسلم بن الحجاج القشيري، ت261ه، تحقيق محمد فؤاد عبدالباقي، دار إحياء التراث العربي، بيروت.

48ـ العزيز (فتح العزيز) شرح الوجيز, للرافعي عبد الكريم بن محمد, ت 623 ه, تحقيق عادل عبد الموجود, دار الكتب العلمية, ط/1421 ه.

49ـ عمدة القاري شرح صحيح البخاري، للعيني محمود بن أحمد، ت 855 ه، دار الفكر، بيروت، 1399هـ.

50ـ غنية المتملي (شرح منية المصلي) للحلبي إبراهيم بن محمد, ت 956 ه, طبعة عثمانية (دار السعادة), اسطنبول, 1325ه.

51ـ فتح الباري بشرح صحيح البخاري، لابن حجر العسقلانـي أحمد بن علي، ت 852 ه، المكتبة السلفية، دار الفكر.

52ـ الفوائد البهية في تراجم الحنفية، محمد عبدالحي اللكنوي، ت1304 ه، دار المعرفة، بيروت.

53ـ فيض القدير بشرح الجامع الصغير للسيوطي، ت 911 ه، للمناوي محمد عبدالرؤوف بن علي، ت 1031 ه، دار المعرفة، بيروت، ط2/ 1391هـ.

54ـ القاموس المحيط, للفيروزآبادي محمد بن يعقوب, ت 817 ه, مطبعة مصطفى البابي الحلبي, القاهرة, 1371 ه.

55ـ القوانين الفقهية في تلخيص مذهب المالكية، والتنبيه على مذهب الشافعية والحنفية والحنبلية، لابن جزي محمد بن أحمد، ت741 ه، مكتبة أسامة بن زيد، بيروت.

56ـ كشاف القناع عن متن الإقناع، للبهوتي منصور بن يونس، ت1051 ه، تعليق جلال مصيلحي، مكتبة النصر الحديثة، الرياض.

57ـ لطائف المعارف فيما لمواسم العام من الوظائف, لابن رجب الحنبلي عبد الرحمن بن أحمد, ت 795 ه, تحقيق ياسين محمد السواس, دار ابن كثير, دمشق, دمشق, ط1/1413 ه.

57ـ مبارق الأزهار في شرح مشارق الأنوار, لابن مَلَك عبد اللطيف بن عبد العزيز, ت 801 ه, دار الطباعة العامرة, اسطنبول/1328 ه, (أما المتن فهو: مشارق الأنوار النبوية من صحاح الأخبار المصطفوية, للحسن بن محمد الصَّغاني, ت 650 ه).

59ـ المبدع في شرح المقنع، لابن مفلح إبراهيم بن محمد، ت884 ه، المكتب الإسلامي، بيروت.

60ـ المتجر الرابح في ثواب العمل الصالح, للدمياطي عبد المؤمن بن خلف ت 705 ه, ط/1403 ه.

61ـ المجموع شرح المهذَّب، للنووي يحيى بن شرف الدين، ت676 ه، دار الفكر، بيروت.

62ـ المحرَّر في الفقه (الحنبلي)، لابن تيمية مجد الدين عبد السلام بن عبدالله، ت652 ه، ومعه النكت على المحرر، لابن مفلح، مطبعة السنة المحمدية، سنة 1369.

63ـ المحلى، لابن حزم علي بن أحمد، ت456 ه، تحقيق أحمد محمد شاكر، دار الآفاق الجديدة، بيروت.

64ـ مختصر اختلاف العلماء (للطحاوي) اختصره الجصاص أبو بكر الرازي, ت 370 ه, تحقيق د/عبد الله نذير, دار البشائر الإسلامية, ط1/1416 ه.

65ـ مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح, ملا علي القاري, ت 1014 ه, مكتبة الإمدادية, ملتان, باكستان.

66ـ المستدرك على الصحيحين، للحاكم محمد بن عبدالله، ت405 ه، دار الكتاب العربي، بيروت.

67ـ مسند الإمام أحمد، أحمد بن محمد بن حنبل، ت241ه، المكتب الإسلامي، بيروت، تصوير دار صادر، بيروت.

68ـ مشكل الآثار، للطحاوي أحمد بن محمد، ت321 ه، تحقيق شعيب الأرنؤوط، مؤسسة الرسالة، بيروت، ط1/ 1415.

69ـ المصباح المنـير في غريب الشرح الكبير، أحمد بن محمد المُقْري الفيومي، ت770 ه.

70ـ معالم السنن (مع مختصر سنن أبي داود للمنذري)، للخطابي حمد بن محمد، ت 388 ه، طبعة محمد حامد الفقي، مكتبة السنة المحمدية، القاهرة.

71ـ المعتصر من المختصر من مشكل الآثار, اختصره أبو الوليد الباجي, ت 474 ه, واعتصره جمال الدين يوسف بن موسى المَلَطي, ت 803 ه, عالم الكتب, بيروت (صورة عن الطبعة الهندية).

72ـ معونة أولي النهى شرح المنتهى، لابن النجار الفُتُوحي محمد بن أحمد، ت972 ه، تحقيق عبدالملك بن دهيش، مكتبة النهضة الحديثة، مكة المكرمة، ط1/ 1406.

73ـ المغنـي (شرح مختصر الخرقي)، لابن قدامة المقدسي عبد الله ابن أحمد، ت620 ه، دار الكتاب العربي، بيروت، 1392.

74ـ مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج، للشربيني محمد بن أحمد، ت977 ه، دار إحياء التراث العربي، بيروت، صورة عن طبعة البابي الحلبي، سنة 1377.

75ـ المنتقى شرح موطأ الإمام مالك, للباجي سليمان بن خلف, ت 474 ه, مصورة عن مطبعة السعادة, القاهرة, ط1/1331.

76ـ مِنَح الجليل على مختصر خليل، محمد بن أحمد عليش، ت1299 ه، مكتبة النجاح، طرابلس، ليبيا.

77ـ المِنَح الشافيات بشرح مفردات الإمام أحمد، للبهوتي منصور بن يونس، ت1015 ه، تحقيق عبد الله بن محمد المطلق، طبع إدارة إحياء التراث الإسلامي، قطر.

78ـ مواهب الجليل في شرح مختصر خليل، للحطاب محمد بن عبدالرحمن، ت954 ه، دار الفكر، بيروت، ط2/ 1398.

79ـ الموسوعة الفقهية الكويتية، وزارة الأوقاف, الكويت.

80ـ النجم الوهَّاج في شرح المنهاج للدميري محمد بن موسى, ت 808 ه, دار المنهاج, جدة, ط1/1405.

81ـ نُخَب الأفكار في تنقيح مباني الأخبار, شرح شرح معاني الآثار, للعيني محمود بن احمد, ت 855 ه, تحقيق السيد أرشد المدني, الناشر الوقف المدني الخيري, ديوبند, الهند, ط1/1423.

82ـ نصب الراية لأحاديث الهداية، للزيلعي عبدالله بن يوسف، ت 726 ه، بعناية: محمد عوامة، دار القبلة، جدة، والمكتبة المكية، مكة المكرمة، ط1/ 1418.

83ـ نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج, للرملي محمد بن أحمد, ت 1004 ه, دار إحياء التراث العربي, بيروت.

84ـ نهاية الوصول إلى علم الأصول (المعروف ببديع النظام الجامع بين كتاب البزدوي والإحكام), لابن الساعاتي أحمد بن علي, ت 694 هـ, تحقيق د/سعد بن غرير السلمي, طبع جامعة أم القرى, ط1/1418 هـ.

85ـ نيل الأوطار شرح منتقى الأخبار، للشوكاني محمد بن علي، ت1250 ه، دار الجيل، بيروت.







/



([1]) ينظر القاموس المحيط, وشرحه تاج العروس (ضحو), المصباح المنير (ضحي), فتح الباري 10/3, حاشية ابن عابدين 6/311, ونقل ابن عابدين أن فيها ثماني لغات.

([2]) الموسوعة الفقهية الكويتية 5/76.

([3]) رواه الترمذي في السنن 3/83 (1493), وقال: حديث حسن غريب, سنن ابن ماجه 2/1044 (3126).

([4]) سنن الترمذي 3/83.

([5]) رواه أبو القاسم الأصبهاني في الترغيب والترهيب 1/175 (348), وقال الإمام المنذري في الترغيب والترهيب 2/155, حسّنه بعض مشايخنا. اه ، وقال الدمياطي في المتجر الرابح ص 316: إسناده لا بأس به. اه, وينظر نصب الراية 4/219.

([6]) تبيين الحقائق 6/2, بدائع الصنائع 5/62, ابن عابدين 6/313 (ط البابي).

([7]) ينظر حاشية ابن عابدين 6/313 نقلاً عن القدوري.

([8]) الشرح الكبير على مختصر خليل 2/118, مواهب الجليل للحطاب 3/238, بلغة السالك (حاشية الصاوي) على الشرح الصغير 1/309.

([9]) المجموع 8/383, مغني المحتاج 4/282, نهاية المحتاج 8/123.

([10]) المغني لابن قدامة 11/94, كشاف القناع 3/21, شرح منتهى الإرادات للبهوتي 2/86.

([11]) رواه الإمام أحمد في المسند 2/321, وابن ماجه 2/1044 (3123), المستدرك للحاكم 2/389, وصححه, وأقره الذهبي, وقال الحافظ ابن حجر في فتح الباري 4/3: رجاله ثقات, لكن اختُلف في رفعه ووقفه, والموقوف أشبه بالصواب. قاله الطحاوي وغيره. اه, وينظر نصب الراية 4/207.

([12]) مسند الإمام أحمد 1/231, سنن البيهقي 2/468, المستدرك للحاكم 1/300, وينظر نصب الراية 4/206, وقد بيَّن ضعفه, حيث تكلم في رجال سنده, وقال ابن حجر في التلخيص الحبير 3/118: تلخص ضعف الحديث من جميع طرقه.

([13]) انظر مصادرهم في ص 6 ـ 7 عند الكلام على حكم الأضحية.

([14]) شرح معاني الآثار 4/181, وينظر شرحه نخب الأفكار للعيني 4/447.

([15]) مختصر اختلاف العلماء للطحاوي (اختصار الجصاص) 3/230.

([16]) التجريد 12/6344.

([17]) 1/279.

([18]) مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح 3/307.

([19]) 4/96.

Thursday, November 4, 2010

كثرة الفتاوي في الحج رحمة وتيسير للحاج

.. أمر طبيعي لاختلاف الفقهاء
جدلية كثرة الفتاوى في الحج .. و عكاظ ترصد الآراء
نعيم تميم الحكيم ـ جدة

اختلف عالمان حول مسألة اختلاف الفتاوى في الحج وكثرتها وأثرها على الحجاج، ففي حين وصفها نائب رئيس الاتحاد العالمي لعلماء المسلمين ووزير العدل الموريتاني السابق وعضو المجمع الفقهي الدكتور عبد الله بن بيه بفوضى حقيقية للفتوى في الحج بحاجة لتنظيم دون إشعار الحاج بهذه الاختلافات، رأى أمين الفتوى في إدارة الإفتاء في سورية الدكتور علاء الدين الزعتري أن كثرة الفتاوى في الحج أمر طبيعي، وهو نتيجة لاختلاف الفقهاء في القضايا الفقهية في الحج.
ودافع ابن بيه عن رأيه بقوله «لا بد من وضع حدود معينة لبعض المسائل الفقهية الجدلية في الحج، من خلال التنسيق بين مفتي البعثات وحملات الحج، وبين الجهات القائمة في الفتوى في الحج مثل وزارة الشؤون الإسلامية، وأيضا مع المجامع الفقهية، خصوصا في القضايا الكبرى التي فيها شحنة من الاختلافات مثل؛ رمي الجمار والمبيت في منى ومزدلفة، وغيرها من الأمور التي تؤدي إلى حرج وصعوبات وتضر بأمن وسلامة الحجاج»، مضيفا «لا بد من وضع حد للفتاوى المتشددة وتنظيم قضية الفتاوى من خلال ترك كل شخص يسير على مذهبة دون إلزامه برأي فقهي معين؛ لأن المذاهب الأربعة متكاملة وكلها على صواب وخير، فمن أراد المبيت فلا بأس في ذلك، ومن أراد أن يطوف قبل طلوع الشمس كما هو في صحيح الإمام أحمد فلا بأس؛ لأن مثل هذه التوسعة في الفتوى تؤدي إلى عدم اضطراب الفتوى»، وطالب ابن بيه العلماء بالسير على منهج التيسير في بعض القضايا الفقهية حماية للحجاج، حتى ولو خالف هذا الرأي إجماع الفقهاء.
بينما بين الدكتور علاء الدين الزعتري رأيه بقوله «ما من باب من أبواب الفقه يكثر فيه الاختلاف في آراء الفقهاء والمدارس الفقهية كما هو في الحج، لذلك فإن الرسول (صلى الله عليه وسلم) عندما كان يسأل في الحج عن بعض القضايا الفقهية يجيب بإجابة واحدة وهي «افعل ولاحرج» ،فهو من خلال هذه الكلمة فتح باب الرحمة للمسلمين في أداء المناسك وحضور المشاعر، وسن سنة للفقهاء والمفتين لاختيار الأيسر للمسلمين في الحج مهما كان مذهب الشخص أو طريقته.
مضيفا «هذه الأحكام في الفروع وفي الجزئيات والتفصيلات والحركة والانتقال والتقديم والتأخير والليل والنهار، أما الأركان الأساسية في الحج المتفق عليها؛ النية مع الإحرام والطواف حول البيت والسعي بين الصفا والمروة والوقوف بعرفة، فما دام الحج قد أتى بهذه الأركان فكل ماعداه من الأفعال والتطبيقات فللفقهاء والعلماء آراء مختلفة ومذاهب متعددة، ونرى ذلك من باب الرحمة بالعباد، حيث إن لم يتسع المكان فليتسع الزمان دون أن نضيق على الناس».
واستدرك الزعتري بقوله: أما ما يجري من إيذاء المسلمين بسبب مزاحمة على فعل السنة فإن ذلك حرام، لذلك يجب على العلماء عدم التشدد في الفتاوى واختيار الأيسر للحجاج، أما كثرة الفتاوى فهي أمر طبيعي ولا يصل لدرجة الفوضى. وتابع: أما إذا أحس الحاج باختلاف الفتاوى في مسألة معينة بين ما تعلمه في بلده وما قرأه في كتاب ديني وما سمعه من مفت في المشاعر؛ فعليه الرجوع إلى قلبه وليعمل بما يراه (استفت قلبك وإن أفتاك الناس وأفتوك)، ذلك أن تعدد هذه الأقوال كل له سند أو دليل.

Wednesday, November 3, 2010

4 Toyol ditangkap

Empat Tuyul Ditangkap Warga Grogol Utara
Tribunnews.com - Jumat, 29 Oktober 2010 13:39 WIBShare + –

fact4win.blogspot.com
ilustrasi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Alie Usman

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Warga di kawasan Grogol Utara mendadak heboh. Salah seorang warganya yang tinggal di rumah petak di jalan Pulau mawar, RT 04/08, Kelurahan Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan berhasil menangkap empat tuyul sekaligus.

Fera, istri penangkap tuyul-tuyul tersebut mengatakan, sebetulnya penangkapan terhadap empat tuyul tersebut sudah dilakukan suaminya sekitar seminggu yang lalu. Bahkan, selama itu suaminya sengaja menggantung tuyul-tuyul tersebut di dekat pintu masuk rumahnya.

"Ditangkapnya sudah semingguan yang lalu. Waktu itu setelah sholat Ashar. Suami saya kok jingkrak-jingkrakan sendiri di luar. Pas ditanya, dia bilang berhasil nangkep tuyul-tuyul itu," ujar Fera saat ditemui di rumahnya.

Fera menceritakan, suaminya yang juga bisa pijat urut tersebut memang sejak dulu bisa melihat hal-hal yang tergolong gaib. Bahkan, beberapa kali suaminya sering dimintai tolong untuk menangkap tuyul. "Sebetulnya bapak sudah tahu tuyul-tuyul itu sering beroperasi di daerah sini. Tapi waktu itu dia belum sempat ngomong. Baru pada saat duit kami juga ikut hilang, dia jadi sebel dan kebetulan mereka lewat," ujar Fera.

Fera mengatakan, suaminya sempat ngedumel dan kesal saat uang mereka hilang sekitar Rp 100.000 digondol tuyul. Bahkan, suaminya sempat mengancam jika tuyul tersebut kembali datang dia tidak akan memberi ampun. "Dia sempet marah-marah. Awas saja kalau lewat lagi saya habisin mereka. Ya benar saja. Empat tuyul itu malah sempat digantung dekat pintu. Habisnya kami naro satu juta kok hilang seratus ribu. Mana itu juga duit buat modal. Suami saya kesal karena tahu cari duit itu susah," jelas Fera.

Fera menceritakan, keempat tuyul tersebut langsung dimasukan ke dalam botol aqua sedang dan ditaburi garam.

Dengan mata telanjang, tuyul-tuyul tersebut memang tidak terlihat sama sekali. Akan tetapi, begitu disorot kamera televisi, keempat tuyul tersebut baru kelihatan jelas.

"Bentuknya mirip manusia, cuma lebih jelek. Badannya hitam legam. Mukanya juga rada keriput. Sangat menyeramkan. Apalagi, telinganya meruncing dan memanjang ke atas. Anak-anak yang ikut melihat juga sampai pada merinding dan gemetaran," ujar Fera disambut anggukan belasan warga lain yang masih berkumpul di rumahnya.

Editor: kisdiantoro
SHARE

Rekomendasi (0)

كيفية استقبال القبلة

Home Konsultasi Fiqah Kontemporer
Tak Perlu Polemik Soal Arah Kiblat
Monday, 09 August 2010 15:42 E-mail | Print | PDF
Tidak ada satu pun ulama yang mengatakan shalat mereka batal. Kenapa kita mesti rebut?

Oleh Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A*

Hidayatullah.com--Akhir-akhir ini arah kiblat mulai menjadi pembicaraan hangat kaum muslimin di Indonesia. Pasalnya fatwa MUI No 3 tahun 2010 yang menyatakan bahwa arah kiblat umat Islam Indonesia ke arah barat, mulai direvisi kembali pada fatwa MUI No. 5 dengan mengubah redaksi menjadi arah barat laut.

Apa sebenarnya makna kiblat itu? Bagaimana sejarahnya? Apakah kewajiban menghadap kiblat itu berlaku bagi seluruh shalat atau hanya shalat tertentu saja? Dan kiblat umat Islam Indonesia sebenarnya menghadap ke arah mana? Pertanyaan-pertanyaan tersebut insya Allah akan terjawab dalam makalah berikut ini :

Makna Kiblat

Kiblat berasal dari bahasa Arab yaitu al- Qiblat yang berarti arah tempat manusia menghadap. Al Qiblat berasal dari al al Muqabalah dan al Istiqbal. Dinamakan al Qiblat karena seorang yang melakukan shalat menghadap ke arahnya. (Abu Hafsh Sirojuddin Umar, Tafsir al Lubab fi Ulumi al Kitab)

Hukum Menghadap Kiblat

Menghadap Kiblat merupakan syarat sah shalat bagi yang mampu menurut kesepakatan para ulama. (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 111, Khotib Syarbini, Mughni Muhtaj, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 331) . Mereka berdalil dengan firman Allah swt :

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)

Berkata Ibnu al Arabi: “ Asy Syathr secara etimologi berarti setengah dari sesuatu, tapi kadang juga diartikan “arah atau maksud “ . Dan ayat ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin, baik yang bisa melihat Ka’bah maupun yang tidak bisa melihatnya “ ( Ahkam al Qur’an, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 64, Qurtubi : 2/107-108 )

Begitu juga dengan hadist Nabi Muhammad saw:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ


“Jika engkau hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat, dan bertakbirlah.” (HR. Bukhari dan Muslim )

Kedua perintah di dalam ayat dan hadist di atas mempunyai arti wajib, karena tidak ada dalil yang memalingkan dari artinya yang asli.

Cara Menghadap Kiblat

Untuk mengetahui bagaimana cara menghadap kiblat, maka perlu diketahui terlebih dahulu bahwa orang yang shalat mempunyai dua keadaan:

Keadaan Pertama: Orang yang shalat tersebut berada di depan Ka’bah atau mampu melihat Ka’bah secara langsung. Dalam keadaan seperti ini, maka dia harus menghadap langsung ke bangunan Ka’bah. Jika dia tidak menghadap kepada bangunan Ka’bah dan melenceng walaupun sedikit, maka shalatnya tidak sah.

Ibnu Qudamah berkata : “Kemudian jika seseorang langsung melihat ka’bah, maka wajib baginya ketika shalat untuk menghadap langsung ke bangunan Ka’bah, kami tidak mengetahui adanya perselisihan antara para ulama dalam masalah ini. Berkata Ibnu ‘Aqil : “Jika sebagian arahnya melenceng dari bangunan Ka’bah, maka shalatnya tidak sah’.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Beirut, Dar al Kitab al Araby, 1/ 456 ). Bisa dirujuk pula Tafsir al- Qurtubi : 2/108

Keadaan Kedua : adalah orang yang tidak berada di depan Ka’bah dan tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung.

Dalam keadaan kedua ini, para ulama berbeda pendapat tentang caranya, apakah harus mengenai bangunan ka’bah atau cukup menghadap ke arahnya saja?

Pendapat Pertama : bahwa orang yang tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung, ia tetap harus menghadap ke bangunan Ka’bah, serta tidak boleh melenceng sedikit pun. Ini adalah pendapat sebagian ulama.

Mereka berdalil dengan firman Allah swt :

وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke Ka’bah.” (QS. Al Baqarah: 144)

Begitu juga dengan hadist Ibnu Abbas ra :

عن ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ لَمَّا دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْتَ دَعَا فِي نَوَاحِيهِ كُلِّهَا وَلَمْ يُصَلِّ حَتَّى خَرَجَ مِنْهُ فَلَمَّا خَرَجَ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فِي قُبُلِ الْكَعْبَةِ وَقَالَ هَذِهِ الْقِبْلَةُ

Dari Ibnu Abbas ra, berkata, "Ketika Nabi saw masuk ke dalam Ka'bah, beliau berdo'a di seluruh sisinya dan tidak melakukan shalat hingga beliau keluar darinya. Beliau kemudian shalat dua rakaat di depan Ka'bah, lalu bersabda: "Inilah kiblat." (HR. Bukhari dan Muslim).

Pendapat Kedua : bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah ka’bah dan itu cukup dengan persangkaan kuatnya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.

Dalil dari pendapat kedua ini adalah sebagai berikut :

Dalil Pertama :

Firman Allah swt :

وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144).

Berkata Ibnu Al Arabi : “ Bahwasanya Allah swt ingin memberitahukan bahwa siapa saja yang letaknya jauh dari Ka’bah, maka hendaknya dia menghadap ke arahnya saja, bukan bangunannya, karena sangat susah menghadap ke bangunannya, bahkan itu tidak mungkin bisa dilaksanakan kecuali bagi yang melihatnya secara langsung “ (Ahkam al Qur’an : 1/ 64 )

Berkata Shon’ani : “ Ayat di atas menunjukkan bahwa cukup menghadap arah Kiblat saja, karena untuk menghadap ke bangunan Ka’bah tidaklah bisa dilakukan oleh setiap orang yang melakukan shalat di setiap tempat. “ (Subulus Salam, Dar al Kutub al IImiyah : 1/ 251 )

Dalil Kedua :

Sabda Rasulullah saw :

مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

“Arah antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih.)

Dewan Fatwa Dan Penilitian Ilmiyah Arab Saudi no : 3534 ( 6/ 313 ) menyatakan tentang hadist di atas sebagai berikut : “ Hadist ini ditujukan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya yang berada di utara Ka’bah atau yag berada di selatan Ka’bah. Yang nyata dalam hadist ini bahwa antara timur dan barat adalah Kiblat. Ada pun yang berada di barat atau timur Ka’bah, maka kiblatnya adalah antara utara dan selatan. “

Hal serupa juga disampaikan oleh Syekh Sholeh bin Utsaimin di dalam Majmu’ Fatawanya ( 12/341 ). Bahkan oleh ulama-ulama sebelumnya seperti Imam Ibnu Abdul Barr di dalam al Istidzkar ( 2/458) dan at Tamhid ( 17/58 ), Asy-Syaukani di dalam Nailul Author( 3/253 ).

Dalil Ketiga :

Hadist Abu Ayyub al Anshori ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلا تَسْتَدْبِرُوهَا بِبَوْلٍ وَلا غَائِطٍ ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا

“Jika kalian mendatangi toilet maka janganlah menghadapi ke arah kiblat dan jangan pula kalian membelakanginya baik dalam keadaan buang air kecil maupun buang besar, tetapi menghadapilah ke timur atau ke barat. “ ( HR Bukhari, no : 144 dan Muslim, no : 264)

Berkata Syekh Islam Ibnu Taimiyah : “ Hadist di atas menjelaskan bahwa selain menghadap ke timur dan barat dikatagorikan menghadap atau membelakangi kiblat. Hadist ini ditujukan kepada penduduk Madinah dan yang berada di sekitarnya. (Syarh al Umdah : 3/ 434)

Artinya bahwa bagi penduduk Madinah, sepanjang mereka menghadap arah selatan, baik menghadap selatan secara lurus, atau melenceng ke timur sedikit atau ke barat sedikit, maka tetap dikatagorikan menghadap Kiblat.

Dalil Keempat :


عن نافع أن عمر بن الخطاب قال (ما بين المشرق والمغرب قبلة إذا تُوُجِّه قِبَلَ البيت

).

Dari Nafi’ bahwasanya Umar bin Khattab berkata : “antara Timur dan Barat adalah Kiblat, jika menghadap ke arah Ka’bah “ ( HR Imam Malik di dalam al Muwatho’ )

Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Ustman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abdul al Barr di dalam at Tamhid : ( 17 / 58 )

Dalil Kelima :

Bahwa jama’ah shalat di masjid-masjid yang besar dan shofnya sangat panjang melebihi panjangnya bangunan Ka’bah, para ulama telah sepakat bahwa shalat mereka sah, padahal secara yakin mereka tidak menghadap ke bangunan Ka’bah.

Berkata Ibnu Rajab al Hanbali: “Para ulama telah sepakat bahwa shof dalam shalat yang sangat panjang yang letaknya jauh dari Ka’bah dinyatakan sah. Padahal telah diketahui bahwa tidak mungkin semuanya menghadap ke bangunan Ka’bah“ (Ibnu Rajab, Fath al Bari : 3/142 ) .

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Syarh al Umdah : 3: 434, Ibnu Al Arabi di dalam Ahkam al Qur’an : 1/65, al Qurtubi di dalam tafsirnya : 2 /107),

Dalil keenam:

Mewajibkan orang shalat yang tidak bisa melihat Ka’bah dan jauh darinya untuk tetap menghadap bangunan Ka’bah adalah mewajibkan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, dan akan sangat menyulitkannya, padahal Islam adalah agama yang mudah. Berkata Ibnu Rusydi : “ Seandainya diwajibkan menghadap ke bangunan Ka’bah, maka hal itu sangat menyulitkan, padahal agama itu mudah. Allah swt berfirman :

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“ Dan Allah tidaklah menjadikan bagi kamu dalam agama ini sesuatu yang menyulitkan “ ( Qs Al Haj : 78 ) (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 111).

Kesimpulan :

Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa arah kiblat untuk penduduk Indonesia dan negara Asian amnya yang letaknya di sebelah timur Ka’bah adalah barat. Yang paling tepat adalah menghadap ke arah barat laut, tetapi jika melenceng sedikit sehingga menghadap barat lurus, selama masih arah barat, maka shalatnya dikatakan sah.Insya Allah

حكم استعمال الكرت القرض

Hukum Menggunakan Kartu Kredit
Tuesday, 19 January 2010 14:00 E-mail | Print | PDF
Mayoritas ulama menyatakan bahwa syarat yang tidak sesuai dengan syariat yang terjadi dalam sebuah transaksi, akan merusak transaksi dan pelakunya berdosa


Di dunia modern seperti ini, banyak kaum muslimin yang menggunakan kartu kredit di dalam melakukan transaksi jual beli. Kartu tersebut dirasa lebih efesien, aman, dan praktis dibanding kalau membawa uang tunai kemana-mana. Bagaimana hukum menggunakan kartu kredit tersebut? Sebagian kalangan menyatakan haram karena di dalam kartu tersebut terdapat unsur riba. Namun, sebagian yang lain mengatakan sebaliknya, bahwa kartu kredit tersebut halal secara mutlak dan tidak ada unsur riba. Bagaimana sebenarnya ?

Jawaban:

Oleh Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A

Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan di sini bahwa dalam kartu kredit ini terdapat tiga transaksi:

Pertama: Transaksi antara pihak yang mengeluarkan kartu kredit dengan pengguna kartu kredit. Transaksi antara pihak yang mengeluarkan kartu kredit (dalam hal ini adalah perbankan) dan pihak yang menggunakannya (yaitu nasabah) adalah transaksi kafalah (jaminan). Dalam hal ini perbankan bertindak sebagai kafil (pihak penjamin), sedang pengguna kartu sebagai pihak yang terjamin, sedangkan kartu kredit itu sendiri adalah bukti dari kafalah.

Pihak penjamin berkewajiban membayar seluruh hutang-hutang pengguna dalam setiap transaksinya dengan para pedagang yang telah ditunjuk oleh pihak penjamin. Transaksi ini oleh para fuqaha disebut dengan “ dhoman ma lam yajib“ (jaminan pada sesuatu yang bukan kewajibannya), dan hal ini dibolehkan oleh mayoritas ulama, adapun ulama-ulama Syafi’iyah tidak membolehkannya.

Hanya saja, transaksi kafalah dalam bentuk ini menyisakan beberapa masalah, di antaranya bahwa transaksi kafalah di dalam syariat Islam tidak berorientasi kepada profit, tetapi hanya bantuan belaka. Sedang transaksi kafalah dalam kartu kredit bertujuan untuk mendapatkan keuntungan di balik bantuan yang diberikan kepada para pengguna kartu.

Hukum Membership Fee

Untuk memiliki kartu kredit, seseorang harus menjadi anggota dan membayar sejumlah uang pembuatan kartu. Begitu juga dia harus membayar uang untuk memperbaharui kartu tersebut tiap tahun, jika dia ingin meneruskan penggunaan kartu tersebut.

Bagaimana hukum membership fee tersebut menurut fikih? Para ulama menjelaskan bahwa uang dari jasa pembuatan kartu kredit tersebut adalah boleh, selama biayanya masih dalam batas kewajaran, karena hal itu termasuk dalam katagori upah pembuatan kartu. Hal ini dikuatkan dengan ketentuan bahwa semua pengguna kartu tersebut dipungut biaya yang sama, baik dia menggunakan kartu kredit tersebut untuk membeli barang yang sangat banyak, maupun sedikit, bahkan bagi yang tidak menggunakannya sama sekali. Semuanya dikenakan biaya yang sama.

Telat Pembayaran

Para pengguna kartu sebagai pihak yang terjamin berkewajiban membayar hutang–hutangnya kepada pihak yang menjamin. Pembayaran hutang ini tentunya sesuai dengan nilai barang yang dia beli dari pedagang atau jasa yang ia manfaatkan darinya. Seandainya pihak penjamin meminta lebih dari itu atau mensyaratkan imbalan jasa dari jaminan yang diberikannya, maka tambahan atau imbalan jasa tersebut termasuk dalam katagori riba. Begitu juga, jika pihak penjamin memberlakukan ketentuan bunga kepada pihak pengguna kartu jika pelunasan hutang kepadanya lewat jatuh tempo atau menunggak. Ini semua tidak dibolehkan.

Bagaimana jika pengguna kartu meyakini karena melihat kondisi finansial dan ekonominya, mampu membayar tepat waktu kepada pihak penjamin sehingga tidak akan terkena denda atas keterlambatan membayar hutang? Mayoritas ulama menyatakan bahwa syarat yang tidak sesuai dengan syariat yang terjadi dalam sebuah transaksi, maka akan merusak transaksi itu sendiri dan pelakunya berdosa. Sedang madzhab Hanabilah menyatakan bahwa syarat yang menyelisihi syariat tersebut tidak mempengaruhi keabsyahaan transaksi, dan syarat tersebut dengan sendirinya batal. Oleh karenanya, menurut madzhab ini pengguna kartu yang membayar hutangnya kepada penjamin tepat pada waktunya tidak terkena riba dan ini dibolehkan.

Kedua: Transaksi antara pihak yang mengeluarkan kartu kredit dengan para pedagang.

Pihak yang mengeluarkan kartu berkewajiban untuk membayar hutang yang ditanggung pihak pengguna kepada para pedagang tersebut. Hutang tersebut bisa dipindahkan dari pihak pengguna kartu kepada pihak yang mengeluarkan kartu melalui transaksi hiwalah. Jadi, para pedagang tidak boleh lagi meminta bayaran kepada para pembeli yag merupakan pihak pengguna kartu atau pihak yang dijamin, karena hutang mereka sudah dipindahkan ke pihak yang mengeluarkan kartu. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw: “ az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin adalah pihak yang berhutang (karena jaminan tersebut).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah ).

Keuntungan Pihak Penjamin

Pihak penjamin, yaitu yang mengeluarkan kartu akan mendapat keuntungan dari pihak pedagang dalam bentuk diskon harga barang-barang yang telah dibeli oleh pihak pengguna kartu. Artinya pihak penjamin tidak membayar penuh dari jumlah harga yang telah dibeli oleh pengguna kartu atau dalam rekening pembayaran. Bagaimana hukum mengambil keuntungan dengan cara seperti ini? Sebagian ulama membolehkan transaksi semacam ini dengan mengemukakan beberapa alasan:

1. Keuntungan tersebut adalah biaya administrasi atau upah dari jasa pengambilan uang dari para nasabah (para pengguna kartu), dan ini dibolehkan.

2. Keuntungan tersebut adalah upah dari jasa pihak penjamin, karena membuat iklan dan pesan-pesan terhadap barang-barang yang dijual pedagang.

3. Keuntungan tersebut adalah upah dari jasa pihak penjamin, karena telah membantu pedagang untuk mencarikan pelanggan, yang dalam istilah fikih disebut samsarah atau mediator atau broker.

Yang menjadi masalah dalam transaksi ini adalah bahwa hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu (penjamin) dengan pihak pedagang adalah hubungan kafalah di dalam membayar hutang-hutang pihak pengguna kartu (yang dijamin) kepada pedagang. Tetapi di dalam satu waktu, ketika pihak penjamin mendapat keuntungan dari pedagang berupa diskon harga, maka hubungan antara keduanya berubah menjadi transaksi ijarah, atau mediator.

Ketiga: Transaksi antara para pengguna kard dengan para pedagang

Transaksi antara para pengguna kartu dengan para pedagang mempunyai dua bentuk:


Transaksi jual beli, hal ini terjadi jika pembawa kartu tersebut membeli barang-barang dari pedagang.
Transaksi ijarah (sewaan), hal ini jika pembawa kartu memanfaatkan sesuatu dari pedagang.

Kedua transaksi tersebut sah dan diizinkan dalam syariat Islam.

Kesimpulan

Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa menggunakan kartu kredit di dalam transaksi jual beli hukumnya diperinci terlebih dahulu:

Jika pihak penjamin tidak mensyaratkan denda dari keterlambatan pembayaran hutang dari pihak yang dijamin, maka hukumnya boleh. Sebaliknya, jika disyaratkan seperti itu, maka hukumnya tidak boleh, kecuali jika pihak pengguna kartu berkeyakinan penuh bahwa dia bisa melunasi hutang tersebut tepat pada waktunya, maka hal ini dibolehkan menurut sebagian ulama.

Bagi pihak pembuat kartu (penjamin) dibolehkan memungut biaya pembuatan kartu dari pihak pengguna dalam batas-batas kewajaran. Begitu juga, pihak penjamin atau pembuat kartu dibolehkan mendapatkan keuntungan dari penjual berupa discount harga-harga yang dibeli oleh pengguna kard, karena telah mempromosikan barang-barangnya kepada konsumen, atau karena telah membantu pedagang mencarikan pelanggan atau karena telah membantu untuk mengambil hutang-hutang dari pengguna kartu.

Walaupun begitu, dianjurkan seorang muslim untuk berhati-hati sekali menggunakan kartu dalam transaksi semacam ini. Jika tidak mendesak, sebaiknya ditinggalkan. Wallahu A’lam. [www.hidayatullah.com]


Form Konsultasi